Sunday, September 30, 2007

Buku Kesaksian Tragedi Talangsari Lampung Diluncurkan

Senin, 30 April 2007 20:31

Kapanlagi.com - Peluncuran buku "Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung" karya Fadilasari, jurnalis yang juga mahasiswa pasca sarjana Universitas Lampung (Unila), nyaris ricuh antarkelompok pro dan kontra islah (damai).

Usai peluncuran buku terbitan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), di Kampus Unila, di Gedongmeneng-Bandarlampung, Senin, berlanjut dengan diskusi publik dengan tema "Prospek Penegakan Hukum Kasus Pelanggaran HAM Talangsari".

Dalam diskusi dengan moderator H Ibnu Khalid, Pimpinan Harian Umum Radar Lampung yang juga Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lampung, pada sesi tanya jawab dan dialog, mencuat kembali perbedaan pandangan yang tajam antara kelompok pro dan kontra islah Talangsari itu.

Kebetulan pada acara hadir para korban dan pelaku Talangsari yang terjadi pada 7-8 Februari 1989, delapan belas tahun lalu, yang masih hidup dan kini tinggal tersebar di berbagai tempat di luar Lampung maupun bertahan di Provinsi Lampung.

Kelompok Kontra islah korban dengan mantan Komandan Korem 043 Garuda Hitam Lampung pada saat kejadian, AM Hendropriyono (mantan Kepala BIN) yang dimotori Azwar Kaili merasa tersinggung dengan tanggapan peserta dialog, Widagdo, antara lain karena mengungkit kembali adanya oknum yang dituduh mengeksploitasi dan "menjualbelikan" tragedi itu bagi kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Padahal dalam forum itu juga hadir kelompok pro islah, Sudarsono, Sukardi, dll. yang menganggap persoalan Talangsari telah selesai dan ditutup yang tidak akan dipersoalkan mereka lagi.

Sempat terjadi aksi emosional diantara mereka, dengan saling berteriak tidak puas sambil berdiri dari tempat duduk masing-masing untuk saling merangsek. Padahal saat itu Koordinator Kontras, Usman Hamid tengah menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya.

Moderator dan panitia hampir tak dapat mengendalikan kericuhan itu.

Kekisruhan sempat terjadi beberapa saat dan nyaris berlanjut secara lebih buruk.

Namun sejumlah tokoh dan panitia termasuk moderator berkali-kali berusaha menenangkan mereka yang terlibat pertikaian pendapat itu.

Akhirnya kericuhan yang lebih buruk dapat dicegah, sehingga acara dialog tetap diteruskan sampai tuntas.

Justru pada akhir dialog terjadi saling berangkulan dan bersalaman antarkelompok korban Talangsari itu, antara Sukardi dan Sudarsono dengan Azwar maupun Jayus, termasuk Widagdo.

Tampil sebagai pembicara adalah penulis buku Fadilasari, Koordinator Kontras Usman Hamid, dosen Fak. Hukum Unila Syafrudin, dan salah satu tokoh Talangsari, Jayus.

Fadilasari menyatakan, buku itu merupakan bahan skripsinya saat kuliah di FISIP Unila yang sempat tersendat proses untuk menjadi buku sejak beberapa tahun lalu, sehingga baru sekarang dapat diterbitkan.

Dia mengaku berusaha untuk menampilkan kesaksian korban beserta faktanya dalam tragedi Talangsari secara berimbang, untuk dapat diketahui secara jelas dan mendorong para pihak mengambil langkah penyelesaian hukum secara adil dan tuntas. (*/rsd)

Talangsari; Pelaku atau Korban?


PDF Print E-mail
Written by Administrator
Radar Lampung, Tuesday, 01 May 2007


Laporan Fajar S./Ibnu K.

BANDARLAMPUNG - Perjalanan waktu selama 18 tahun tak mengubah perbedaan pandangan soal peristiwa Talangsari. Masih ada yang menilai peristiwa berdarah tersebut sebagai perang. Sebagian lainnya menganggap sebuah kejahatan kemanusiaan; pelanggaran berat atas hak asasi manusia (HAM).

Menariknya, perbedaan pandangan tersebut justru terasa masih kental di kalangan ’’mereka sendiri’’, yang terlibat dalam peristiwa tersebut, baik langsung maupun tidak. Kalangan yang saat peristiwa tersebut justru –sebagian di antaranya– merupakan jamaah pengajian Warsidi. Pengajian inilah yang kemudian dianggap TNI sebagai kelompok yang ingin mendirikan negara Islam.

Perbedaan pandangan tersebut terasa sangat kental dalam diskusi terbuka yang diselenggarakan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teknokra Universitas Lampung (Unila), kemarin. Diskusi bertema Prospek Penegakan Hukum Kasus Pelanggaran HAM Talangsari itu merupakan rangkaian peluncuran buku karya Fadilasari yang berjudul Talangsari 1989; Kesaksian Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Lampung.

Selain Ila, sapaan Fadilasari, hadir sebagai pembicara Koordinator Komisi Nasional untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid; staf pengajar Fakultas Hukum Unila Shafruddin; dan salah satu korban peristiwa Talangsari, Jayus. Diskusi dimoderatori Deputy General Manager Radar Lampung Ibnu Khalid.

Sebenarnya, sejak awal acara peluncuran buku memang sudah terasa ’’panas’’. Usai Paus Sastra Lampung Isbedy Stiawan Z.S. membacakan puisinya yang bertema peristiwa Talangsari, panitia mengadakan lelang buku karya aktivis Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Bandarlampung tersebut.

Ada tiga buku yang dilelang. Lelang buku pertama berjalan tanpa banyak kendala. Begitu juga dengan kedua. Suasana mulai memanas saat lelang buku terakhir. Ketika itu, panitia sudah mendapat penawaran seharga Rp550 ribu untuk satu buku.

’’Saya siap membeli Rp1 juta asal mendapat kesempatan menjadi pembicara dalam diskusi,’’ ujar seorang pengunjung. Darsono, pria itu, merupakan salah satu jamaah pengajian Warsidi. Karena panitia telah menetapkan pembicara, maka permintaan tersebut ditolak.

Acara dilanjutkan dengan diskusi. Dimulai dari pemaparan Jayus. Dia mengulas secara singkat peristiwa Talangsari. Menurutnya, korban tewas dalam peristiwa itu ratusan.

’’Saya ingat, penguburan dilakukan setidaknya selama dua hari. Setiap hari minimal 50 jenazah yang dimakamkan. Itu pun secara asal-asalan. Maka pada hari ketiga, warga memperbaiki makam yang belum sempurna. Di antara korban adalah wanita dan anak-anak,’’ ujarnya.

Kemudian Ila memaparkan temuannya selama proses membuat buku. Dia mengakui, sejatinya buku tersebut adalah skripsi yang ia tulis untuk menyelesaikan studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Unila.

Untuk menulis skripsi tersebut, dia mengumpulkan data dan fakta selama hampir satu tahun. Berbagai pihak ia temui dan wawancarai. Kemudian buku juga diramu dengan berita-berita mengenai peristiwa Talangsari yang ia tulis selama menjadi wartawan majalah berita mingguan Tempo. ’’Jadi memerlukan waktu yang panjang. Karena saya berusaha untuk menulis seobjektif mungkin. Tetapi saya tetap siap menerima kritik, masukan, dan saran atas isi buku ini,’’ ujarnya.

Meski demikian, Usman Hamid dalam pemaparannya masih mengkritik buku tersebut. Dia menilai sebaiknya buku Ila juga dielaborasi dengan buku sejenis yang terbit sebelumnya, Geger Talangsari.


Simpulan Komnas HAM

Mengenai peristiwa Talangsari sendiri, Usman menegaskan Komisi Nasional (Komnas) HAM pada 14 Maret 2007 sudah mengeluarkan rekomendasi atas investigasi yang mereka lakukan. Di antara isinya, peristiwa Talangsari tidak dapat dikatakan sebagai kejahatan genocide –pembantaian secara massal untuk memusnakan satu etnis atau kaum.

Kemudian, meninggalnya banyak orang dalam peristiwa tersebut tidak dapat disimpulkan sebagai akibat kejahatan genocide. Namun, ada indikasi terjadinya penghilangan secara paksa.

Komnas HAM juga menyimpulkan ada indikasi unsur-unsur objektif pelanggaran HAM berat. ’’Kategorinya adalah tindakan yang mengakibatkan hilangnya seluruh atau sebagian hak hidup seseorang,’’ jelas Usman. Karena itu, lanjut dia, Komnas HAM juga merekomendasikan penyelidikan proyustisia atas peristiwa tersebut.

Seperti diberitakan harian ini kemarin, tim penyelidik juga sudah dibentuk. Mereka adalah Wakil Ketua Komnas HAM Zumrotin K. Susilo. Selain itu, Ruswiati Suryasaputra, M. Farid, Isdal Kasim, dan Supardi.

Shafruddin berpendapat senada dengan Usman. Menurutnya, ada indikasi pelanggaran HAM dalam peristiwa Talangsari. Secara hukum, papar dia, peristiwa itu baru dapat dikatakan perang bila ada kombatan.

’’Unsur itu tidak terlihat dalam peristiwa Talangsari. Tidak ada kombatan, juga tidak ada simbol-simbol, termasuk simbol yang mengarah pada pendirian negara baru,’’ ujarnya.



Saturday, September 29, 2007

Legalisasi Kerusakan Hutan: Kopi Lampung Akan Diembargo.

3 Aug 2000 23:4:42 WIB

TEMPO Interaktif, Bandar Lampung: Walhi Lampung mendesak Pemda untuk
segera mencabut Perda tentang Retribusi Izin Pemungutan terhadap
Pengambilan Hasil Hutan Bukan Kayu di Kawasan Hutan--atau sering
disebut Iuran Hasil Hutan (IHH). Sebab, kata Masyhuri Abdullah,
Direktur Eksekutif Walhi Lampung, LSM lingkungan hidup internasional
menilai Pemda telah melegalisasi kerusakan hutan melalui perda
tersebut. Buktinya,Green Peace sudah mengeluarkan surat peringatan
kepada Nestle agar tidak mengunakan produk kopi asal Lampung, kata
Masyhuri kepada TEMPO Interaktif, di Sekretariat Walhi Lampung, Kamis
(3/8).

Embargo ini, papar Masyhuri, akan berimbas pada tingkat pendapatan
petani kopi di Lampung. Dan jika kopi Lampung ini tidak laku akan juga
berdampak pada devisa negara. Sebab, 60 persen hasil kopi Indonesia
berasal dari Lampung. Masyhuri juga mengkhawatirkan, setelah surat
peringatan Green Peace itu, lembaga-lembaga lingkungan hidup
internasional lainnya akan ikut-ikutan mendesak pemerintahnya
masing-masing mengembargo kopi dari Lampung.

Kami sudah tiga kali berdemonstrasi dan berdialog dengan DPRD Lampung
pada Maret dan April lalu. Tapi anggota dewan malah menganggap
permintaan kami berlebihan dan salah dalam mempersepsikan Perda
tersebut, katanya. Padahal, dengan adanya IHH, perambahan hutan
lindung memang seperti dilegalisasi. Untuk diketahui, hutan-hutan
lindung di Lampung hampir punah. Kini hanya tersisa 30 persen dari
jumlah semula yang hampir seluruhnya telah dijarah penduduk setempat
untuk menanam kopi.

Lucunya, lanjut dia, di dalam Perda IHH itu disebutkan: bagi para
petani kopi dalam hutan lindung, dikenai biaya retribusi. Nah, dengan
demikian, secara tidak langsung Pemda sudah melegalkan perambahan
hutan dong, tegasnya. Karenanya, menghadapi ancaman dari pasaran
internasional itu, Walhi Lampung menyampaikan surat terbuka kepada
Gubernur Lampung, Oemarsono. Selain menuntut penghapusan Perda IHH,
juga disebutkan, adanya tanaman kopi di dalam kawasan hutan telah
menimbulkan ketimpangan dalam penguasaan sumber-sumber agraria.
Kebijakan pemerintah dianggap lebih berpihak kepada pemilik modal.
Sehingga, masyarakat yang tidak memiliki sumber agraria menjadikan
kawasan hutan sebagai salah satu alternatif mempertahankan kehidupan
mereka.

Mengenai hal ini, Gubernur kepada TEMPO Interaktif mengatakan, Pemda
tidak akan mencabut Perda yang telah disetujui DPRD Lampung itu. Wong
belum diberlakukan juga kok, sudah ribut, katanya. Sedangkan, anggota
DPRD juga bersikukuh mempertahankan Perda itu. Pada dasarnya Perda itu
adalah untuk membina dan mengarahkan masyarakat yang selama ini berada
di kawasan hutan untuk sekaligus menjaga dan memfungsikan hutan secara
layak. Bukan untuk melegalisasi perusakan hutan, ungkap Mochtar Hasan,
dari Fraksi Kebangkitan Bangsa. (Fadilasari)

Membincangkan Kembali Kasus Pelanggaran HAM Talangsari 1989

Thursday, 31 May 2007

Sample Image(Unila): Kasus HAM Talangsari, Lampung, yang terjadi pada tahun 1989, dan sudah dibukukan, kembali hangat dibicarakan kalangan mahasiswa dan akademisi. Laboratorium Politik Lokal dan Otonomi Daerah Jurusan Pemerintahan FISIP Unila mengadakan diskusi, di FISIP Unila, Kamis, (31/5) dengan mengundang Fadilisari, penulis buku ”Talangsari 1989 : Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung”.

Menurut Fadilasari, yang juga alumnus FISIP 99, banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat pada saat itu meninggalkan trauma buruk masyarakat.

“Penangkapan dan pembunuhan tanpa ada proses hukum terlebih dahulu, pengekangan kebebasan masyarakat, perampasan hak milik serta adanya penutupan arus informasi, warga Talangsari sulit mendapat hak bekerja dan mendapat pendidikan. Itu akibat stigma negatif yang dialamatkan kepada warga Talangsari,” papar Fadilasari, yang kini wartawan Tempo dan mahasiswa magister hukum Unila.

Sementara itu, Budi Kurniawan, S.IP, dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Unila, menjelaskan biasanya ada dua tipe pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara. ” Pertama, alasan keamanan (subversif), dan kedua karena adanya kolusi antara pihak swasta dengan tentara ” jelasnya.

Alasan keamanan, kata Budi, bisa dilihat seperti pada kasus Petrus (1983), Tanjung Priok (1984), Talangsari (1989), Dom, Timor Timur, 27 Juli, Penculikan Aktivis, Tri Sakti, dan kasus Semanggi. Kasus HAM akibat kolusi swasta dan tentara, jelas Budi, dapat dilihat pada kasus penggusuran tanah kedung ombo, pelanggaran hak adat, HPH, Freeport, penindasan buruh, dan kasus Marsinah.

Menurut Budi, sedikitnya ada empat hal kendala penegakan kasus pelanggaran HAM, yakni tidak pernah menghukum aktor intelektual seperti contoh kasus penculikan aktivis, trisakti dan semanggi. ” Kedua, tekanan kekuatan swasta internasional, contoh kasus buyat. Ketiga, kolusi pejabat pemerintah, dan keempat, tidak ada political will dari pemerintah, ” jelas Budi.

Menurut Dra. Ari Darmastuti, M.A satu hal yang terpenting ialah, kasus-kasus pelanggaran HAM harus tetap diupayakan untuk dimejahijaukan. ”Sebab ada gejala budaya tutup mulut atau ‘culture of silent’ untuk menutupi kasus-kasus semacam ini. Jangankan sampai dinyatakan bersalah, sampai di pengadilan pun ini sudah merupakan kemenangan,” kata Ari, yang juga staf pengajar FISIP Unila.

Sedangkan menurut Drs. Rusdan, M.Si, dosen luar biasa FISIP Unila yang juga Dekan FISIP UTB, sebaiknya berbagai kalangan mencoba menelaah dengan bijak apa sebenarnya yang menjadi akar masalah sebenarnya di Talangsari. ”Bukan sekedar untuk mencari ’kambing hitam’ siapa yang bersalah dari kasus ini, ” tegasnya. [redha/syafar]

Friday, September 14, 2007

Komnas HAM Diberi Waktu sampai September


Selasa, 01/05/2007

BANDAR LAMPUNG (SINDO)- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) berharap Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dapat menuntaskan penyelidikan kasus Talangsari, Lampung sebelum kepengurusan Komnas HAM periode ini berakhir pada September 2007.

Harapan itu dilontarkan Koordinator Kontras Usman Hamid, di Bandar Lampung, kemarin. ”Mudah-mudahan tahun ini Komnas HAM dapat menggiring kasus Talangsari menjadi penyelidikan pro justisia untuk kemudian diserahkan ke Kejaksaan Agung dan DPR,”kata Usman usai peluncuran buku ”Talangsari 1989: Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung” karya Fadilasari.”

Target kami,Kejaksaan Agung bisa mengajukan kasus ini ke pengadilan adhoc HAM,” imbuhnya. Kontras sendiri, terus Usman, berkomitmen untuk mengawal penyelesaian kasus yang terjadi pada 1989 itu hingga digelarnya pengadilan adhoc HAM. Menurut Usman,dalam upaya menggelar pengadilan adhoc HAM tersebut, dukungan DPR sangat diperlukan. Meski begitu, DPR diminta tidak memolitisasi kasus Talangsari, seperti kasus-kasus HAM lainnya.”

Jangan sampai nanti DPR justru menyimpulkan tidak ada pelanggaran HAM dalam tragedi Talangsari, seperti halnya kasus Trisakti dan Semanggi,” tegas suksesor almarhum pejuang HAM Munir ini. Sementara Azwar Kaili, Ketua Paguyuban Keluarga Korban Talangsari mengeluhkan masih adanya tekanan dari pihak keamanan kepada sejumlah keluarga korban. ”Untukmenggelar pengajian saja kami masih harus lapor sana-sini dan diawasi,” ujar Azwar yang salah seorang anaknya hilang dalam tragedi tersebut. (juwendra asdiansyah)


Komnas HAM Bongkar Makam Korban Talangsari

Monday, 30 April 2007

Pagi Ini Bedah Buku Talangsari


Laporan Senen/JPNN

JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terus berupaya mengungkap kasus Talangsari. Komnas HAM telah membentuk tim penyelidik ad hoc terhadap peristiwa Februari 1989 itu.

’’Anggota tim lima orang dan sudah dilaporkan pada Rapat Paripurna Komnas HAM,” kata Wakil Ketua Komnas HAM yang juga anggota tim penyelidik Zumrotin K. Susilo di Jakarta, kemarin. Selain Zumrotin, empat anggota lain adalah Ruswiati Suryasaputra, M. Farid, Isdal Kasim, dan Supardi.

Dijelaskan, tim bekerja efektif mulai Mei. Mereka akan mempelajari seluruh temuan yang lalu. Selain itu, akan disusun berita acara untuk penyelidikannya. ’’Kami mulai pekan ini. Kalau dulu hanya minta keterangan, sekarang menyusun BAP-nya juga,” bebernya.

Untuk melengkapi berita acara tersebut, tim yang diberi waktu hingga Agustus itu akan mengumpulkan data sekunder lain. Mereka juga akan menyusun jadwal orang-orang yang akan dimintai keterangan. Sampai batas waktu itu, berkas penyelidikan harus sudah sampai di tingkat penyidikan Kejaksaan Agung.

Menurut Zumrotin, dalam mengumpulkan data tersebut, ada kemungkinan tim akan membongkar makam korban di Lampung. ’’Kami belum tentukan (pembongkaran) karena masih akan dibicarakan,” urainya.

Mengenai waktu hingga Agustus, Zumrotin mengaku tidak yakin dengan deadline tersebut. ’’Saya nggak yakin, tapi berharap sebisa mungkin terpenuhi,” tuturnya. Pada Agustus nanti, masa bakti komisioner Komnas HAM berakhir. Kemudian, dipilih komisioner baru.

Bagaimana jika tugas tim belum selesai? Dia menjelaskan, tim akan meminta perpanjangan masa tugas. Namun, tidak tertutup kemungkinan tugas tersebut diambil alih oleh komisioner baru. ’’Sebaiknya dilanjutkan, tapi semua tergantung komisioner baru,” jelas Zumrotin.

Peristiwa Talangsari bermula saat sekelompok warga dari Solo, Bandung, Jakarta, dan sekitar Lampung berpindah ke Talangsari. Mereka memercayai konsep hijrah. Di sana warga disambut Warsidi sebagai pemimpin pengajian. Kedatangan warga direspons camat Wayjepara. Camat meminta Warsidi melaporkan pendatang baru itu.

Namun, panggilan itu tidak direspons. Sejak itu, kelompok Warsidi yang ingin menegakkan syariat Islam tersebut diawasi. Pada 6 Februari 1989, pecah konflik pertama antara pengikut Warsidi dan aparat. Danramil 41121 Wayjepara Kapten Sutiman terbunuh. Keesokannya tindakan warga itu direspons aparat keamanan hingga akhirnya jatuh korban tersebut.

Sementara itu, hari ini Unit Kegiatan Penerbitan Mahasiswa (UKPM) Teknokra Unila meluncurkan buku Talangsari 1989 karangan Fadilasari. Peluncuran buku yang ditulis wartawan Tempo ini akan dilaksanakan di halaman Rektorat Unila.

Menurut sang penulis, buku setebal 125 halaman itu berbeda dengan buku-buku lain yang terbit lebih dahulu dan ditulis pihak lain. Buku ini menggambarkan peristiwa secara deskriptif mengenai bagaimana sesungguhnya peristiwa Talangsari. Mulai pembentukan pengajian Warsidi, apa ajaran mereka, sampai seperti apa kekerasan pada 7 Februari 1989 silam yang menewaskan ratusan umat Islam itu.

Melalui buku ini, lanjut Fadilasari, dirinya mencoba menyadarkan masyarakat bahwa sebenarnya peristiwa Talangsari benar-benar terjadi. Hingga saat ini, kasusnya belum tuntas secara hukum.

Usai peluncuran buku, akan diadakan diskusi publik dengan tema Prospek Penegakan Hukum Kasus HAM Talangsari. Diskusi akan menampilkan pembicara Usman Hamid (koordinator Kontras), Syarif Makhya (dosen FISIP), Azwar Kaili (saksi korban peristiwa Talangsari), dan Fadilasari sendiri. Sedangkan moderatornya Ibnu Khalid (Deputy General Manager Radar Lampung). (*)

Buku Kesaksian Tragedi Talangsari Lampung Diluncurkan

Senin, 30 April 2007 20:31

Kapanlagi.com - Peluncuran buku "Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung" karya Fadilasari, jurnalis yang juga mahasiswa pasca sarjana Universitas Lampung (Unila), nyaris ricuh antarkelompok pro dan kontra islah (damai).

Usai peluncuran buku terbitan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), di Kampus Unila, di Gedongmeneng-Bandarlampung, Senin, berlanjut dengan diskusi publik dengan tema "Prospek Penegakan Hukum Kasus Pelanggaran HAM Talangsari".

Dalam diskusi dengan moderator H Ibnu Khalid, Pimpinan Harian Umum Radar Lampung yang juga Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lampung, pada sesi tanya jawab dan dialog, mencuat kembali perbedaan pandangan yang tajam antara kelompok pro dan kontra islah Talangsari itu.

Kebetulan pada acara hadir para korban dan pelaku Talangsari yang terjadi pada 7-8 Februari 1989, delapan belas tahun lalu, yang masih hidup dan kini tinggal tersebar di berbagai tempat di luar Lampung maupun bertahan di Provinsi Lampung.

Kelompok Kontra islah korban dengan mantan Komandan Korem 043 Garuda Hitam Lampung pada saat kejadian, AM Hendropriyono (mantan Kepala BIN) yang dimotori Azwar Kaili merasa tersinggung dengan tanggapan peserta dialog, Widagdo, antara lain karena mengungkit kembali adanya oknum yang dituduh mengeksploitasi dan "menjualbelikan" tragedi itu bagi kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Padahal dalam forum itu juga hadir kelompok pro islah, Sudarsono, Sukardi, dll. yang menganggap persoalan Talangsari telah selesai dan ditutup yang tidak akan dipersoalkan mereka lagi.

Sempat terjadi aksi emosional diantara mereka, dengan saling berteriak tidak puas sambil berdiri dari tempat duduk masing-masing untuk saling merangsek. Padahal saat itu Koordinator Kontras, Usman Hamid tengah menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya.

Moderator dan panitia hampir tak dapat mengendalikan kericuhan itu.

Kekisruhan sempat terjadi beberapa saat dan nyaris berlanjut secara lebih buruk.

Namun sejumlah tokoh dan panitia termasuk moderator berkali-kali berusaha menenangkan mereka yang terlibat pertikaian pendapat itu.

Akhirnya kericuhan yang lebih buruk dapat dicegah, sehingga acara dialog tetap diteruskan sampai tuntas.

Justru pada akhir dialog terjadi saling berangkulan dan bersalaman antarkelompok korban Talangsari itu, antara Sukardi dan Sudarsono dengan Azwar maupun Jayus, termasuk Widagdo.

Tampil sebagai pembicara adalah penulis buku Fadilasari, Koordinator Kontras Usman Hamid, dosen Fak. Hukum Unila Syafrudin, dan salah satu tokoh Talangsari, Jayus.

Fadilasari menyatakan, buku itu merupakan bahan skripsinya saat kuliah di FISIP Unila yang sempat tersendat proses untuk menjadi buku sejak beberapa tahun lalu, sehingga baru sekarang dapat diterbitkan.

Dia mengaku berusaha untuk menampilkan kesaksian korban beserta faktanya dalam tragedi Talangsari secara berimbang, untuk dapat diketahui secara jelas dan mendorong para pihak mengambil langkah penyelesaian hukum secara adil dan tuntas. (*/rsd)

Pustaka: Sebuah Upaya Meluruskan Sejarah

Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung
Penulis: Fadilasari
Pengantar: Zumrotin KS
Penerbit: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan dan Sijado, Maret 2007
Tebal: ix + 125 halaman

TALANGSARI 1989. Kejadian itu sudah berlalu 18 tahun lalu. Meski begitu, bagi sebagian orang peristiwa itu mungkin tidak mungkin terlupakan. Bahkan, sebagaimana dituturkan dalam buku ini, masih ada keluarga korban yang luput dari kematian dalam penyerbuan aparat ke Talangsari 7 Februari 1989 dan serentetan upaya penumpasan apa yang distigmatisasikan sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) Anwar Warsidi itu; yang masih ‘trauma’ dengan kejadian itu.

Ada sebagian pula yang masih berjuang terus menggugat kasus ini tetap dibuka dan para para pelanggar hak asasi manusia (HAM) mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.

Sebagian lain lagi, boleh jadi mulai lupa atau lebih tepatnya berusaha melupakan kenangan pahit itu. Betapa tidak, Komite Smalam mencatat 246 nama tewas dalam peritiwa ini. Jumlah tewas sebenarnya, diperkirakan tidak kurang dari 300 orang.
Saat ini, secara umum, ada dua kelompok kasus Talangsari: islah dan non-islah. Bagi yang mendukung islah barangkali kasus ini barangkali sudah selesai. Tidak ada yang perlu dipersoalkan, apa lagi diungkit-ungkit. Dengan islah, mereka saling memaafkan, bahkan melupakan.

Namun ada pihak yang menghendaki agar kasus Talangsari dibuka kembali. Korban yang menolak islah beralasan, bila perdamaian dilakukan sebelum sebelum proses hukum, tidak akan jelas siapa pihak yang salah dan benar. Mereka khawatir akan terus terkungkung dalam stigma Islam PKI dan PKI.

Fadilasari, penulis buku ini berupaya membongkar kembali “sejarah hitam kemanusiaan” dengan semangat mengungkap kebenaran. Sudut pandang yang digunakannya pun cukup tepat: Kesaksian korban pelanggaran HAM Peristiwa Lampung. Hampir semua tokoh penting di balik peristiwa ini ini diwawancarainya tanpa adanya tendensi untuk beropini.
Kemudian dengan teknik reportase, buku ini ditulis dengan gaya bertutur; khas majalah Tempo. Dan, memang selain wawancara langsung dengan pelaku dan saksi, majalah Tempo dan (juga) Harian Lampung Post menjadi rujukan utama penulisan buku ini. Kebetulan, saat penggarapan buku ini, penulisnya yang sekarang jurnalis Metro TV adalah koresponden Tempo News Room di Lampung.

Perjalanan buku yang aslinya adalah skripsi Fadilasari untuk merampungkan studinya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung (1999) ini, cukup panjang. Setelah dilakukan riset ulang dan menambah data-data dan fakta-fakta lain, naskah buku ini – seperti diakui penulisnya – selesai sejak tahun 2001. Tapi, berbagai kendala menghadang. Penerbitan sebagai buku baru terealisasi tahun ini.

Sebenarnya, meskipun buku tentang Talangsari telah beberapa kali buku ditulis dan diterbitkan beberapa penulis, tetap saja kehadiran buku ini sangat ditunggu-tunggu. Berbeda dengan buku-buku lain yang cenderung mengelaborasi kasus ini berdasarkan kepentingan (politik-ekonomi? ) dari salah satu pihak (kelompok), buku ini agaknya tidak ingin terlibat dalam kepentingan para pihak itu.Dua kelompok yang berbeda pendapat, yaitu pihak yang menuntut agar kasus Talangsari diproses secara hukum dan pihak yang menuntut agar kasus ini ditutup saja terakomodasi secara baik dalam buku ini.

Secara runtut, penulis buku menyajikan fakta dan merekonstruksi peristiwa kasus Talangsari.

Dibuka dengan wacana kekinian, soal cerita (kasus Talangsari) yang hendak dilupakan, kisah yang menyisakan luka, dan Talangsari kini; lalu flash back pratragedi, yaitu sebuah pengajian yang ramai dan penggabungan dengan kelompok Jakarta. Kemudian penulis mencoba menggambarkan tokoh-tokoh di balik peristiwa Talangsari, baik yang masih hidup maupun yang tewas dalam tragedi ini. Mereka antara lain, Warsidi, Jayus, Muhammad Utsman, Sudarsono, Nurhidayat, Ahmad Fauzi Isman, dan Alex.

Pada bab 6, penulis menggambarkan bagaimana aktivitas jemaah Warsidi, kehidupan di sekitar pondok pongajian sebelum, saat, dan sesudah penyerbuan aparat keamanan, eksklusivisme jemaah, berbagai ajaran keagaaman yang dinilai agak “aneh”, dan bagaimana kemudian ajaran ini mulai berbenturan lingkungan, terutama aparat pemerintahan dan keamanam dari tingkat terbawah desa, kecamatan, kebupaten hingga provinsi.

Kematian Komandan Rayon Militer (Danramil) Way Jepara Kapten Sutiman, 6 Februari 1989-lah yang kemudian memicu “serangan fajar” aparat keamanan sehari kemudian. Tragedi 7 Februari 1989 (bab 8).

Bab-bab berikutnya penulis mengisahkan pasca penyerangan aparat, penguburan dan penangkapan jemaah (dan mereka yang disangka jemaah) Anwar Warsidi di berbagai tempat, dan proses persidangan Jemaah Talangsari.

Pada bagian akhir buku – kembali lagi – kondisi kekinian tentang islah dan penyelesaian secara hukum, serta analisis tentang pelanggaran HAM yang telah terjadi dalam kasus Talangsari. Jenis-jenis HAM yang dilanggar aparat negara dalam kasus Talangsari yang dikemukakan dalam buku ini, antara lain penghilangan nyaewa manusia, anak-anak tidak dilindungi, penangkapan dan penahanan tanpa sebab yang jelas, penyiksaan dalam tahanan., penahanan tanpa proses hukum, peradilan tidak independent, pengekangan hak berserikat dan berkumpul, pengekangan hak mengeluarkan pendapat, tidak bebas beragama dan kepercayaan, pengekangan arus informasi, perampasan hak milik, ditolak bekerja, pemerintah tidak bertanggung jawab atas HAM, dan pembedaan perlakuan hukum terhadap warga Negara.

Buku lalu ditutup dengan sebuah epilog tentang bagaimana sebaiknya kasus Talangsari diselesaikan secara berkeadilan dan memenuhi rasa kemanusiaan.

Sebuah buku yang bisa menjadi acuan bagi siapa saja dari untuk mengetahui apa sesungguhnya yang telah terjadi. Paling tidak buku ini bisa menjadi alat untuk meluruskan sesuatu yang agak bengkok selama ini: Tragedi Talangsari. Kuatnya model-model stigmatisasi di masa Orde Baru; membuat sebuah sejarah (peristiwa) selalu dipaksa “dibengkokkan” untuk kepentingan penguasa. Dan, buku ini mencoba menjelaskan secara gamblang dan apa adanya. Mirip sebuah roman tragedi!

* Udo Z. Karzi, Editor pada Penerbit Matakata, Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 28 April 2007

Sunday, September 9, 2007

Teknokra Luncurkan Buku Talangsari 1989






Written by Administrator
Saturday, 28 April 2007

Laporan Zulkarnain

BANDARLAMPUNG - Delapan tahun sudah peristiwa Talangsari terjadi. Namun, banyak masyarakat belum mengetaui bagaimana peristiwa berdarah di Wayjepara, Lampung Timur (dulu Lampung Tengah) tersebut terjadi. Baik penyebab maupun siapa saja yang terlibat di dalamnya.

Menyikapi hal itu, Unit Kegiatan Penerbitan Mahasiswa (UKPM) Teknokra Unila meluncurkan buku Talangsari 1989. ’’Rencananya, buku ini diluncurkan Senin (30/4) di halaman Rektorat Unila,” terang Pimpinan Umum UKPM Teknokra Taufik Jamil Alfarau, kemarin.

Menurutnya, buku karya wartawan Tempo dan Metro TV, Fadilasari, ini berbeda dengan buku lainnya tentang Talangsari. Buku ini menggambarkan peristiwa secara deskriptif mengenai bagaimana sesungguhnya peristiwa Talangsari. Mulai pembentukan pengajian Warsidi, apa ajaran mereka, sampai seperti apa kekerasan pada 7 Februari 1989 silam yang menewaskan ratusan umat Islam itu. ’’Buku ini juga mengungkap deal-deal agar kasusnya tetap tersimpan rapi,” terangnya.

Melalui buku ini, lanjutnya, Fadilasari mencoba menyadarkan masyarakat bahwa sebenarnya peristiwa Talangsari benar-benar terjadi. Dan hingga saat ini, kasusnya belum tuntas secara hukum. ’’Ini terjadi karena berita tentang Talangsari yang mengemuka di media massa setelah terjadinya perdamaian antara pelaku penyerbuan dengan para korban,” tandasnya.

Ada pun proses hukum yang terjadi, tambahnya lagi, adalah membentuk tim penyelidik oleh Komnas HAM. Tim ini sendiri akan menuntaskan penyelidikan mereka sampai bulan Agustus 2007 untuk kemudian dilimpahkan ke Kejaksaan Agung.

Semula, pungkasnya, buku ini adalah skripsi yang ditulis Fadilasari untuk menyelesaikan studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Unila tahun 1999 lalu. Di sela-sela kesibukannya sebagai wartawan Tempo dan Metro TV di Lampung, Fadilasari kemudian mengemasnya menjadi sebuah buku yang disajikan dengan pola tertutur. ’’Gampang dicerna dan membuat pembaca seolah-olah menyaksikan langsung peristiwa pelanggaran HAM tersebut,” imbuhnya.

Usai peluncuran buku, menurut Taufik akan diadakan diskusi publik dengan tema Prospek Penegakan Hukum Kasus HAM Talangsari. Pembicara yang akan dihadirkannya, antara lain Usman Hamid (koordinator Kontras), Syarif Makhya (dosen FISIP), Azwar Kaili (saksi korban peristiwa Talangsari), dan Fadilasari (penulis buku). Sedangkan, moderatornya Ibnu Khalid (Deputy General Manager Radar Lampung).

Kagiatan ini sendiri rencananya dihadiri 200 peserta. Terdiri dari masyarakat umum, akademisi, aktivis, dan mahasiwa. Termasuk para saksi korban yang terlibat langsung dalam peristiwa Talangsari.

’’Diharapkan dengan adanya diskusi ini, masyarakat tahu bahwa sebenarnya peristiwa bukan semata-mata masalah agama. Namun, lebih karena sikap aparatur negara yang kurang menerima kritik dan perbedaan pendapat,” pungkasnya.(*)

sumber: http://radarlampung.co.id/web/index.php?option=com_content&task=view&id=2858&Itemid=29


'Segerakan Adili Kasus Talangsari'


Selasa, 01 Mei 2007

Pengusutan kasus ini bukan untuk mengadili TNI.

BANDAR LAMPUNG -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menargetkan upaya penyelidikan kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Talangsari, Lampung (1989), akan selesai dalam tahun ini. Sementara sejumlah saksi hidup dan korban kasus penyerbuan aparat keamanan terhadap kelompok petani miskin dan pengajian di Talangsari, itu mendesak digelarnya pengadilan HAM.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) pun bertekad terus mendorong kasus ini sampai dibawa ke pengadilan HAM ad hoc. Malah, diharapkan penyelidikan dapat rampung sebelum terbentuk kepengurusan baru Komnas HAM pada September 2007.

''Mudah-mudahan tidak ada halangan, sehingga dalam setahun ini Komnas HAM bisa menyelesaikan kasus Talangsari,'' kata Koordinator Kontras, Usman Hamid, usai peluncuran buku Talangsari 1989: Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung, karya Fadilasari (wartawan), di Universitas Lampung, Senin (30/4).

Ruang acara peluncuran buku tersebut dipadati saksi korban kasus Talangsari, aktivis LSM, LBH, mahasiswa, dan para wartawan. Dalam sesi diskusi publik, sempat terjadi perang mulut antarsaksi korban dan pembicara, namun tidak sampai merusak suasana.

Sukardi, salah satu saksi hidup, merasa sudah cukup lama merasakan derita sebagai keluarga korban Talangsari akibat ketidakjelasan penyelidikan dari tahun ke tahun. ''Saya selaku keluarga korban minta kasus Talangsari jangan 'diperdagangkan' oleh siapa pun. Selesaikan di pengadilan,'' tegasnya.

Sedangkan Jayus, saksi korban lainnya, menilai, hambatan untuk maju ke pengadilan selama ini karena kesalahan dari keluarga korban dan pendamping untuk menyosialisasikan kasus Talangsari. ''Masih banyak yang tidak tahu kejadian 7 Februari 1989 pukul 5.30 WIB itu. Jamaah Talangsari di Lampung diberondong aparat dan dibakar di rumahnya,'' ungkapnya.

Jangan dipolitisasi
''Serangan fajar'' pada Selasa, 18 tahun silam, itu dilakukan aparat keamanan terhadap pondok pengajian di Desa Talangsari III, Lampung Timur. Sedikitnya 246 orang tewas mengenaskan oleh tembakan dan terbakar api yang berkobar, termasuk sejumlah ibu-ibu dan bocah. Puluhan orang lainnya, termasuk yang luka, dipenjarakan.

Pihak yang dikategorikan Komnas HAM sebagai pelaku kekerasan itu adalah Komando Resort Militer (Korem) 043/Garuda Hitam, Polda Lampung, dan Pemerintah Provinsi Lampung. Sejak dua tahun lalu, Komnas HAM melakukan investigasi dengan menemui dan mewawancarai para saksi korban yang tersebar di beberapa tempat di Lampung.

Usman mengatakan, dalam laporan Komnas HAM tertanggal 14 Maret 2006, disimpulkan, telah terjadi pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Talangsari. Komnas HAM akan membawa penyelidikan ini dalam bentuk projustisia, untuk disampaikan Kejaksaan Agung (Kejakgung), DPR, dan pengadilan HAM adhoc.

Ia pun optimistis DPR akan memberikan respon positif sehingga tragedi kemanusiaan di Talangsari dapat dibawa ke pengadilan HAM adhoc. Kontras berharap, DPR tidak mempolitisasi kasus Talangsari, seperti yang menimpa kasus Trisakti. ''Ini (kasus Talangsari) bukan mengadili TNI, jangan disalahartikan. Tapi tidak lebih dari ingin mencari keadilan, memperbaiki (kondisi ekonomi), dan menyelamatkan anak-cucu para korban,'' tandas Usman. n mur

Latar

- Kasus Talangsari terjadi pada Selasa, 7 Februari 1989.
- Pada pukul 05.30 WIB, aparat keamanan menyerbu, menembaki, dan membakar perkampungan sebuah kelompok pengajian yang diimami Warsidi (alm).
- Sebanyak 246 orang tewas, termasuk ibu-ibu dan anak-anak.

sumber: http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=291416&kat_id=3

Peristiwa Talangsari Harus Dituntaskan

Selasa, 1 Mei 2007

Pelanggaran HAM

Bandar Lampung, Kompas - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau Kontras menegaskan, kasus pembunuhan terhadap ratusan warga Talangsari, Lampung Timur, merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Kontras akan terus membawa kasus tersebut ke pengadilan pro- yustisia untuk diselesaikan secara adil.

"Saya berharap penyelesaian kasus Talangsari bisa segera diselesaikan sebelum pergantian kepengurusan Komisi HAM pada September 2007," kata Koordinator Kontras Usman Hamid saat diskusi publik bertema Prospek Penegakan Hukum Kasus Pelanggaran HAM Talangsari, Senin (30/4) di halaman Rektorat Universitas Lampung.

Diskusi yang juga dihadiri Jayus selaku saksi korban pembunuhan dan beberapa saksi hidup peristiwa pembantaian warga Dusun Cihideung, Desa Talangsari, Lampung Timur, pada 7 Februari 1989 tersebut merupakan bagian dari acara peluncuran buku berjudul Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung karya Fadilasari, koresponden Tempo News Room Lampung.

Dalam diskusi yang sempat diwarnai selisih paham antara kelompok warga yang pro islah dan kelompok warga anti-islah dengan tentara tersebut, Jayus mengungkapkan, kasus Talangsari terjadi sebagai akibat adanya gerakan masyarakat yang dicurigai pemerintah akan memberontak. Kasus itu bermula dari sebuah pengajian yang dipimpin Warsidi, warga Dusun Cihideung, Desa Talangsari, Lampung Timur, pada 1980-an.

Usman meminta pemerintah merespons permintaan Jayus yang juga wakil warga Desa Talangsari sebagai bentuk pertanggungjawaban pemerintah. "Kami masih menunggu hasil penyelidikan," ujar Usman (hln)

Peluncuran Buku Tragedi Talangsari Nyaris Ricuh

Senin, 30 April 2007 | 16:50 WIB

TEMPO Interaktif, Bandar Lampung:Acara peluncuran buku Talangsari 1989 karya Fadilasari, nyaris diwarnai kericuhan antarpeserta di Bandar Lampung hari ini.

Kejadiannya dipicu ketersinggungan salah seorang saksi korban kasus Talangsari, Azwar Kaili dan Zamzuri, terhadap salah seorang peserta diskusi bernama Widagdo. "Anak saya jadi korban dalam peristiwa itu. Saya sangat merasakan kehilangan," teriak Azwar Kaili.

Widagdo menuduh korban kekerasan Talangsari yang menuntut penyelesaian secara hukum hanya gerombolan penjual isu hak asasi manusia. "Kalian tidak lebih dari sekelompok orang yang mengeksploitasi kasus Talangsari," tuduh Widagdo, yang juga koordinator Ampel, sebuah lembaga yang melakukan penelitian terhadap peristiwa Talangsari.

Kericuhan dapat dicegah setelah moderator diskusi Ibnu Khalid, ketua Aliansi Jurnalis Independen Lampung, menenangkan sekitar 200 peserta diskusi.

Hadir sebagai pembicara pada acara tersebut Kordinator Kontras Usman Hamid, penulis buku Talangsari 1989 Fadilasari, pengamat hukum dari Universitas Lampung Jayus, dan korban.

Menurut Fadilasari, kasus pelanggaran hak asasi manusia di Talangsari bermula dari keberadaan sebuah pengajian yang dipimpin Warsidi pada 1980-an. Pengajian itu banyak mengkritik pemerintah Orde Baru yang dinilai gagal menyejahterakan rakyat.

Mereka juga mengecam asas tunggal Pancasila, yang mereka nilai sebagai biang kemelaratan rakyat Indonesia. Akibatnya, pada Selasa subuh, 7 Februari 1989, aparat militer menyerbu pengajian itu.

Berdasarkan data Komite Solidaris Mahasiswa Lampung, tim investigasi dan advokasi kasus Talangsari, sedikit 246 jiwa tewas dalam tragedi tersebut. Sejumlah warga lainnya ditahan dengan hukuman yang bervariasi.

Data terakhir Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyebut 47 korban dapat diidentifikasi jenazahnya, dan 88 lainnya dinyatakan hilang.

Usman Hamid, meminta pemerintah Indonesia segera menuntaskan kasus hukum peristiwa Talangsari yang sudah 18 tahun dibiarkan tanpa keadilan. "Pelaku belum juga diadili."

Nurochman