Wednesday, March 5, 2008

Peluang Pengadilan HAM Kasus Talangsari

Lampung Post, Selasa, 4 Maret 2008

OPINI

Fadilasari

Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Unila

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pekan lalu telah memeriksa mantan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Laksamana (Purn.) Soedomo, terkait kasus pelanggaran HAM Talangsari. Soedomo dalam kapasitasnya sebagai menko polkam pada masa Orde Baru dianggap mengetahui peristiwa yang menewaskan ratusan penduduk sipil di Dukuh Cihideung, Dusun Talangsari III, Lampung Timur pada 7 Februari 1989.

Upaya Komnas HAM--melalui Tim Ad Hoc Kasus Talangsari--itu merupakan sebuah kemajuan, bila melihat proses penyelidikan yang berlarut-larut, bahkan kerap stagnan, sejak awal reformasi tahun 1998. Sebuah komisi negara yang selama dinilai tidak berdaya berhasil memeriksa seorang bekas petinggi militer, yang notabene dekat dengan (almarhum) Presiden Soeharto. Pemeriksaan Soedomo diharapkan menghapus kesan angkuh aparat militer yang tidak mau diperiksa aparat sipil (Komnas HAM).

Komnas HAM agaknya cukup cerdik menyiasati sistem komando di tubuh TNI. Biasanya, pemeriksaan selalu dimulai dari pejabat yang paling bawah, baru bergerak ke ke atas. Atasan itulah yang kerap mangkir sehingga menghambat proses penyelidikan suatu perkara. Pemeriksaan Soedomo diharapkan membuat petinggi TNI lain yang berada di bawahnya dapat memenuhi pemanggilan Komnas HAM. Mereka antara lain mantan Panglima ABRI, mantan Pangdam Sriwijaya dan Pangdam Diponegoro, mantan Danrem 043 Garuda Hitam, mantan Gubernur Lampung, dan seterusnya.

Langkah Komnas HAM memeriksa para mantan petinggi militer, yang dikategorikan "saksi yang diduga bertanggung jawab" memang sudah lama dijadwalkan. Ketika Tim Proyustisia Komnas HAM untuk kasus Talangsari (yang dilanjutkan Tim Ad Hoc) terbentuk pada Maret tahun lalu, mereka sudah mendata saksi-saksi yang akan dimintai keterangan. Namun, proses itu baru bisa laksanakan tahun ini karena Tim Komnas HAM masih memfokuskan pemeriksaan para saksi korban yang kini tersebar baik di Lampung, Jakarta, Solo, maupun Sumatera Selatan.

Peluang itu makin terbuka ketika Tim Ad Hoc melakukan hearing dengan Panglima TNI Jenderal Joko Santoso, Januari lalu. Meski "agak jengah" dengan rencana Komnas HAM tersebut, Jenderal Joko mempersilakan bila ada aparat militer yang akan diperiksa dalam kasus pelanggaran HAM masa lalu. Desakan reformasi agaknya telah mengubah pola pikir seorang petinggi militer, yang sangat menjaga "nama baik" korpsnya.

Langkah Komnas HAM periode 2007--2012 ini memang relatif ringan, ketimbang Komnas HAM periode sebelumnya. Selama ini kasus Talangsari terkesan "dipetieskan" karena ditubuh Komnas HAM selalu terjadi konflik internal. Anggota Komnas HAM yang berasal dari militer selalu menjegal upaya untuk menyelidiki kasus itu, meskipun tuntutan untuk membuka kasus tersebut sangat marak disuarakan. Komnas HAM periode ini, selain jumlahnya yang lebih sedikit (hanya 11 orang, sebelumnya ada 23 orang), tidak satu pun di antaranya yang berasal dari TNI/ Polri maupun mantan birokrat.

Ketika dilantik pada September 2007, Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim, berjanji memproritaskan penyelesaian empat kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu. Salah satu di antaranya kasus Talangsari. Bila Komnas HAM konsisten dengan janji tersebut, mereka hanya punya waktu hingga akhir bulan Maret ini untuk menyelesaikan proses penyelidikan, sebelum diserahkan pada Kejaksaan Agung.

Upaya membentuk sebuah pengadilan HAM ad hoc yang telah 19 tahun dinantikan para korban peristiwa Talangsari, mulai menunjukkan titik terang. Apalagi Mahkamah Konsitusi telah merevisi Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dengan "menyunat" peran DPR dalam pembentukan pengadilan HAM ad hoc. Sebelum diubah, DPR dapat memutuskan perlu atau tidaknya dibentuk Pengadilan HAM ad hoc hanya berdasarkan "dugaan" pelanggaran HAM berat (Penjelasan Pasal 43 Ayat [2] UU No. 26 Tahun 2000). Kata "dugaan" itu telah menimbulkan persepsi yang sangat lentur sehingga DPR dapat saja tidak merekomendasikan pengadilan HAM ad hoc bila ada pesanan dari pihak tertentu. Akibatnya, DPR (baca: Partai politik) telah menjadi tempat persembunyian yang empuk bagi pelaku pelanggaran HAM berat.

Hal ini pernah terjadi dalam kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II. Meski Komnas HAM menyimpulkan telah terjadi pelanggaran HAM berat, kerja keras komisi itu dimentahkan DPR, dengan bersepakat menyatakan kasus itu tidak memenuhi unsur pelanggaran HAM berat. Meski dikritik keras, DPR agaknya tebal muka dengan tetap mempertahankan suara lembaganya.

Penghapusan kata "dugaan" mempunyai konsekuensi hukum yang serius. DPR dalam menilai suatu perkara pelanggaran HAM, kini harus benar-benar memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan pihak yang berwenang, dalam hal ini Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.

Hasil penyelidikan Komnas HAM kemudian diserahkan pada kejaksaan yang diikuti dengan penyidikan kasus tersebut. Setelah penyidikan lengkap, dalam arti bukti-bukti hukum sudah cukup, tersangka telah ditetapkan, jaksa agung pun siap menuntut di pengadilan, barulah DPR diminta perannya mengeluarkan rekomendasi pengadilan HAM ad hoc.

Bisa saja kasus Talangsari ini dijadikan alat menguji UU Pengadilan HAM yang sudah direvisi Mahkamah Konstitusi, apakah mampu menjerat pelaku pelanggaran HAM atau tidak. Bila DPR masih saja dinilai menghambat terbentuknya pengadilan HAM ad hoc, sebaiknya peran DPR dipangkas sama sekali.

Menurut UUD 1945, fungsi DPR adalah legislasi, anggaran, dan pengawasan, yang utamanya menjalankan kekuasaan membentuk Undang-Undang. Campur tangan DPR hanya akan menimbulkan intervensi kekuasaan politik terhadap proses hukum yang merupakan bagian kekuasaan kehakiman.

Kemungkinan besar para aparat militer yang diperiksa akan menjawab bahwa pelanggaran HAM itu dilakukan untuk menjaga keutuhan negara yang hendak dirongrong sekelompok orang di pengajian Warsidi, Lampung. Kebijakan itu memang populer di masa Orde Baru yang mengedepankan pembangunan ekonomi dengan memberangus partisipasi politik warga negaranya.

Jemaah Warsidi saat itu memang kerap mengkritik pemerintah Orde Baru yang dinilai gagal menyejahterakan rakyat, dan menolak asas tunggal Pancasila. Hingga tidak heran pada masa pemerintahan Soeharto pembunuhan terhadap penduduk sipil terjadi di mana-mana karena mereka sudah diberi stigma sebagai musuh negara. Untuk menilai apakah yang dilakukan para penguasa pada saat itu melanggar hukum dan HAM atau tidak, itulah perlunya digelar sebuah pengadilan HAM.

Pengadilan HAM ad hoc Talangsari bukan hanya untuk memberi efek jera bagi pelaku pelanggaran HAM, juga untuk memberi keadilan bagi para korban. Mereka yang selamat dari penyerbuan aparat, ditangkap, disiksa, dan dipenjarakan akibat pengadilan yang tidak independen, karena sangat berpihak pada penguasa. Bahkan, tidak sedikit warga yang ditangkap dan disiksa berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, itu adalah penduduk yang tidak tahu menahu peristiwa Talangsari.

Kerugian korban bukan hanya kehilangan nyawa orang tua, keluarga, dan sanak famili, tapi mereka juga menderita secara ekonomi. Sejumlah korban kehilangan rumah dan isinya karena ikut dibakar aparat dalam peristiwa itu, kehilangan mata pencarian karena lokasi tempat mereka tinggal ditutup untuk umum dan diambil alih aparat keamanan selama bertahun-tahun.

Namun, upaya membentuk pengadilan HAM ad hoc Talangsari, tidak semata-mata menjadi kewajiban Komnas HAM, Kejaksaan Agung, dan DPR. Tidak kalah penting adalah peran presiden. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, dua kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu dapat diproses pengadilan, yaitu Kasus Tanjungpriok dan Timor-Timur. Saat itu Gus Dur sangat mendukung kerja Komnas HAM dan Kejaksaan Agung mengungkap kembali kedua kasus pelanggaran HAM berat itu.

Pada kasus Talangsari, belum tampak sama sekali bagaimana sikap Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Seharusnya Presiden lebih proaktif, dan memerintahkan pimpinan TNI bekerja sama dengan Komnas HAM. Apakah SBY bisa mengambil peran sebagai seorang TNI yang reformis atau menjadi pelindung pelaku pelanggaran HAM, kita lihat saja babak berikutnya. ****

Friday, February 22, 2008

Talangsari dan Kepahlawanan Soeharto

Lampung Post, Rabu, 6 Februari 2008

OPINI

Oleh Fadilasari

Penulis Buku Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung.


Ketika mantan Presiden Soeharto dirawat di rumah sakit pada 10 Januari 2008, semua media massa seperti saling berlomba mengabarkan ihwal kesehatan sang bapak pembangunan. Setiap media seolah tidak mau ketinggalan menyajikan informasi sekecil dan sedetail mungkin tentang perkembangan kesehatannya, yang sempat naik turun.

Dari sekian banyak pemberitaan soal Soeharto, kebanyakan media hanya membentuk opini publik untuk mengasihani sang jenderal besar yang terbaring gering, terutama media televisi yang selalu mengabarkan detik per detik kesehatan penguasa Orde Baru tersebut.

Saat Soeharto dinyatakan wafat, secepat kilat perhatian media massa pun tertumpah pada peristiwa yang dianggap teramat sangat dahysat tersebut. Media televisi menghapus acara-acara reguler, dan menggantinya dengan berita seputar kematian dan pemakaman Soeharto. Seolah-olah kebutuhan informasi rakyat Indonesia hanya soal Soeharto seorang. Lebih serunya lagi, kisah-kisah keberhasilan Soeharto selama 32 tahun pun diputar ulang siang dan malam di televisi. Media tidak lagi independen karena nyaris tidak mengulas sisi buruk Soeharto yang sarat dengan kekejaman, pelanggaran HAM, dan pembunuh demokrasi.

Belum lagi kisah keberhasilan Soeharto hapus dari media, muncul lagi wacana untuk menobatkan Soeharto sebagai pahlawan. Jelas, rencana itu mendapat tentangan keras kelompok pejuang demokrasi karena dinilai hanya akan menyakiti para korban pelanggaran hak asasi manusia, yang tersebar di Aceh, Tanjungpriok, Talangsari, dan korban-korban peristiwa G-30-S/PKI. Soeharto dinilai tidak layak menyandang gelar pahlawan karena semasa kepemimpinannya banyak sekali pelanggaran HAM dan menewaskan ratusan ribu bahkan mungkin jutaan masyarakat Indonesia.

Di Lampung sendiri, jejak pelanggaran HAM Soeharto yang teramat nyata dan belum selesai hingga kini adalah kasus pembunuhan terhadap komunitas pengajian pimpinan Warsidi di Dukuh Cihideung, Dusun Talangsari III, Kecamatan Labuhan Ratu, Lampung Timur (dahulu masuk Kecamatan Way Jepara, Lampung Tengah).

Menurut data Komite Solidaritas Mahasiswa Lampung (Smalam), tim investigasi dan advokasi korban peristiwa Talangsari, setidaknya 246 penduduk sipil tewas dihajar senjata aparat pada 7 Februari 1989. Tanggal 7 Februari besok, berarti telah 19 tahun pelanggaran HAM itu terjadi.

Ratusan umat Islam itu dibantai hanya karena mengkritik pemerintah Orde Baru, yang kerap melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Jemaah Warsidi mengecam pemerintah yang gagal menyejahterakan rakyat dan gagal menciptakan keadilan. Kemelaratan terjadi di mana-mana. Ekonomi hanya dikuasai kaum elite yang dekat dengan kekuasaan. Hukum tidak berpihak para rakyat kecil. Dalam semua sisi kehidupan baik ekonomi, politik, maupun hukum, pemerintah Orde Baru tidak berpihak pada rakyat. Jemaah Warsidi kemudian menyimpulkan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) adalah produk gagal.

Kritik yang digencarkan "pada masa yang tidak tepat" itu langsung membuat penguasa Orde Baru tersulut emosinya. Pendekatan kekuasaan pun dilakukan, dengan menghabisi komunitas tersebut. Jemaah Warsidi ditembak dan sebagian dibakar hidup-hidup dalam pondok. Kebanyakan yang dibakar hidup-hidup adalah wanita dan anak-anak. Mereka yang selamat kemudian dipenjarakan.

Orde Baru memang pemerintahan yang antikritik. Jangankan komunitas pengajian di perkampungan macam Talangsari, kaum intelektual dan mahasiswa pun dijebloskan ke bui. Mereka dituduh menghina kepala negara. Kritik dianggap distruktif yang hanya akan mengganggu proses pembangunan. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi telah membunuh partisipasi publik dalam berdemokrasi.

Setelah Soeharto tiada, bukan berarti peristiwa pelanggaran HAM itu dihapus begitu saja. Momen itu justru menjadi harapan bagi korban pelanggaran HAM untuk mendapatkan keadilan, yang selama ini terbenam dalam jubah kebesaran The Smiling General. Kini, harusnya membawa kasus itu ke pengadilan HAM menjadi relatif lebih mudah karena pengambil keputusan tertinggi dalam peristiwa tersebut telah tiada. Bagaimanapun pelaku pelanggaran HAM bukan Soeharto seorang. Melainkan juga para pengambil keputusan (decision maker) lainnya dan pelaku di lapangan, baik sipil maupun militer.

Walaupun begitu, mengadili pelaku pelanggaran HAM tetap akan diadang berbagai kendala. Menurut Mahfud M.D., menyelesaikan kasus pelanggaran HAM pasti menemui kendala teknis prosedural dan kendala politis. Persoalan prosedural menyangkut Undang-Undang Pengadilan HAM yang belum secara tegas mengatur proses dan tata cara pelaksanaan pengadilan HAM berat. Sedangkan kendala politis terkait dengan banyaknya tangan-tangan kuat yang menghalangi proses hukum pelanggaran HAM.

Kendala politik merupakan persoalan yang lebih serius dibanding dengan masalah teknis prosedural. Banyak pejabat penting di birokrasi pemerintahan yang secara langsung maupun tidak terlibat pelanggaran yang dilakukan rezim Orde Baru. Sistem yang dibangun Orde Baru telah memaksa banyak pejabat masuk jebakan sistem yang menyeretnya dalam kasus pelanggaran HAM. Mereka kini masih tersebar di berbagai instansi atau lembaga negara di tingkat pusat maupun daerah.

Hal yang terpenting dari sebuah pengadilan HAM adalah rehabilitasi nama baik dan memberikan hak para korban. Sampai kini para korban peristiwa Talangsari masih hidup dalam stigma Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), Komunitas Antipemerintah atau Islam PKI. Mereka terus menanggung beban sosial di masyarakat, dan tidak mendapatkan hak sebagai warga negara.

Seperti kisah seorang guru agama di Lampung Timur, yang ditangkap saat akan berangkat mengajar ketika aparat "membersihkan" gerakan Talangsari, pada 9 April 1989. Setelah 15 bulan ditahan, tidak ditemukan kaitan antara si bapak guru dan peristiwa Talangsari. Ketika kembali mengajar, dia hanya menerima separo gaji hingga pensiun pada 2005, dan tidak pernah mendapat kenaikan pangkat baik.

Tragisnya setelah pensiun, guru sekolah dasar itu tidak pernah mendapat tunjangan pensiun seperti pegawai negeri sipil pada umumnya. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menggapai hak, tapi hingga kini masih mentok.

Usulan yang menginginkan Soeharto dinobatkan menjadi pahlawan pasti akan ditolak para korban pelanggaran HAM. Logikanya, bila sang mantan Presiden dikukuhkan sebagai pahlawan, para korban pelanggaran HAM tetap dipandang sebagai "kaum pemberontak" atau GPK seumur hidup. Karena apa yang dilakukan pahlawan semasa hidup pastilah sudah benar. Penobatan sebagai pahlawan juga akan mempersulit aparat kejaksaan yang ingin mengembalikan uang negara yang sudah dikorupsi keluarga Soeharto dan kroni-kroninya. (Cukup Soeharto bergelar Bapak Pembangunan karena pada masa Orde Baru ekonomi dan pembangunan cukup baik).

Wacana itu juga akan berdampak pada para pelaku pelanggar HAM yang masih hidup. Status pahlawan bagi Soeharto akan menjadi tempat berlindung yang empuk bagi mereka dari kejaran hukum sehingga pengadilan HAM pun bakal menemui jalan buntu. Pembunuhan yang dilakukan pada masa lalu pun akan terus dislogankan sebagai upaya untuk menciptakan stabilitas nasional atau menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kepergian Soeharto seperti yang disiarkan media massa memang teramat syahdu. Dia telah meninggalkan pelajaran yang tak lengkap bagi penegakan hukum. Namun kita yang masih hidup tentunya tidak boleh membunuh optimisme bahwa satu saat dewi keadilan pasti menampakkan dirinya.

Bila hukum bagi pelaku pelanggar HAM tidak ditegakkan, peluang terjadinya kejahatan HAM seperti pada masa lalu akan mudah terulang. Jangan sampai penegakan hukum di negara ini terus seperti menari poco-poco--meminjam istilah mantan Presiden Megawati Soekarnoputri--satu langkah maju, satu langkah mundur. Dua langkah maju, lalu mundur pun dua langkah.

Seleksi CPNSD, Rekrutmen atau Bisnis?

Lampung Post, Kamis, 24 Januari 2008 
 
 
Oleh  Fadilasari

Jurnalis di Bandar Lampung

Beberapa waktu lalu, seorang teman menyarankan saya membaca pengumuman seleksi penerimaan pegawai negeri sipil daerah (CPNSD) yang dimuat di koran lokal. Teman saya yang bekerja sebagai PNS di salah satu kabupaten di Lampung itu mengatakan menjadi PNS jauh lebih enak ketimbang menjalani profesi yang kini tengah saya tekuni. "Kita tidak perlu berpikir dan bekerja keras, setiap bulan gaji terus mengalir," ujarnya.

Belum lagi saya menjawab, dia sudah nyerocos, "Kalau kamu mau, nanti saya kasih tahu jalurnya. Tarifnya rata-rata Rp100 juta. Tapi kalau kamu bisa kontak dengan pejabat tinggi di daerah, bisa dapat diskon...."

Astagfirullahal adzim. Dari mana saya uang sebanyak itu. Berapa tahun saya harus bekerja mengumpulkan uang dengan profesi yang sekarang agar bisa mendaftar PNS? Lantas setelah saya banting tulang mendapatkan uang itu, mungkinkah saya rela menyerahkannya pada orang lain "hanya sekadar" meminta belas kasihan "dipertimbangkan" menjadi abdi negara. Atau saya harus mencari pinjaman, yang mungkin juga harus saya lunaskan dalam tempo entah berapa tahun setelah menerima gaji PNS.

Menjadi PNS memang masih menjadi impian banyak orang. Bahkan, tidak sedikit orang tua sangat bangga jika anaknya menjadi PNS yang gajinya ratusan ribu, ketimbang menjadi pengusaha dengan penghasilan jutaan rupiah. Profesi PNS dianggap sebagai kebanggaan dan meningkatkan "harga diri" dalam bermasyarakat.

Selain itu, PNS mempunyai banyak tunjangan penghasilan, termasuk masih menerima gaji bila sudah pensiun. Faktor yang menarik lain, surat keputusan (SK) pengangkatan PNS dapat "digadaikan" di bank untuk mencari utangan, sehingga terbuka peluang membuka bisnis lain.

Pola pikir bahwa PNS "tidak perlu berpikir dan bekerja keras" selama ini telah menggeser citra PNS, dari "pejuang pengisi pembangunan" menjadi "SDM yang lemah dan pemalas" atau "kumpulan orang-orang yang tidak mempunyai keahlian". Setiap hari berangkat kerja untuk mengisi absen dan menghitung kapan libur lagi. Akibatnya, tidak sedikit generasi muda yang antipati terhadap profesi PNS dan mencemooh rekan-rekannya yang mendaftarkan diri sebagai PNS.

Tidak ada yang salah dengan profesi PNS. Termasuk kebanggaan menjadi PNS bukan sesuatu yang patut dicerca. PNS adalah sumber daya manusia (SDM) yang sangat menentukan apakah suatu pemerintahan, baik di kabupaten, kota, maupun provinsi berjalan baik atau tidak.

Namun, persoalan besar yang selalu melingkupi setiap seleksi CPNSD adalah banyaknya "kecurangan" dalam penerimaan pegawai. Di Lampung misalnya, ujian CPNSD selalu menuai protes aktivis lembaga swadaya masyarakat, pengamat, perguruan tinggi, hingga calon-calon PNS yang tidak lolos seleksi.

Meski hingga kini belum ada pengadilan yang membuktikan telah terjadi suap menyuap dalam seleksi PNS, aroma "uang haram" sangat tajam begitu peluang penerimaan PNS dibuka. Bahkan, kasuk-kusuk itu sudah mulai dari jauh-jauh hari. Para sarjana yang sudah mendapat bekal ilmu pengetahuan dan idealisme bertahun-tahun di perguruan tinggi rela malu(?) melakukan segala cara agar dapat mengenakan baju seragam PNS.

B.N. Marbun, dalam bukunya Otonomi Daerah 1945-2005, Proses dan Realita, mengatakan bila pelaksanaan otonomi daerah ingin berhasil, salah satu faktor utama dan yang paling awal adalah pembenahan SDM. Mantan anggota DPR/MPR itu mengajukan persyaratan bahwa SDM tersebut harus terdiri dari orang-orang yang kreatif, pembelajar, tanggap terhadap perubahan, berorientasi ke depan, disiplin tinggi, dan mampu menjadi pelayan publik.

Lengkapnya lagi, SDM yang ada di pemerintahan daerah harus orang yang bermotivasi tinggi, mengerti manajemen organisasi, mengerti teknologi mutakhir termasuk teknologi informasi, kreatif, dan tidak bermental korup.

Membenahi SDM yang sudah ada bukan perkara gampang. Apalagi bila SDM tersebut sudah bertahun-tahun (atau mungkin puluhan tahun) selalu berada dalam kinerja yang santai, malas, dan korup. Sebab itu, yang efektif dilakukan adalah memperbaiki pola rekrutmen. Baik atau tidaknya sebuah organisasi sangat ditentukan pola rekrutmen tersebut.

Untuk itu perlu ada proses rekrutmen yang transparan dan jauh dari praktek uang. Bila perlu nilai para peserta tes dipublikasikan. Kalau tidak di media massa, cukup di papan pengumuman di setiap kesekretariatan.

Bila pola rekrutmen asal-asalan atau diwarnai penyakit korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) dapat dipastikan SDM yang didapat juga buruk. Setiap organisasi pemerintahan pasti mengharapkan tenaga muda yang baru diangkat dapat mewujudkan cita-cita pemerintahan yang ideal, yaitu menciptakan menciptakan masyarakat yang maju, adil, dan makmur.

Pegawai adalah subjek utama dan pertama yang akan menentukan arah dan pelaksanaan kerja atau menerjemahkan perencanaan menjadi kenyataan. Dalam kontek pelaksanaan otonomi daerah, kinerja pegawai negeri adalah tolok ukur berhasil atau tidaknya pembangunan di suatu daerah otonom.

Sejak euforia otonomi daerah bermunculan pada awal reformasi, ternyata sebagian besar daerah-daerah pemekaran belum mampu mewujudkan tujuan otonomi daerah. Setelah bertahun-tahun daerah otonom tidak mengalami kemajuan berarti. Justru yang terjadi, pemekaran daerah hanya menambah beban keuangan negara. Kegagalan atau lambannya proses kemajuan di daerah otonom itu, salah satu di antaranya disebabkan perangkat daerah tidak siap bekerja.

Baru-baru ini penelitian Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyebutkan pelaksanaan otonomi daerah sejak 1999 telah gagal. Sebanyak 34 responden menyatakan selama otonomi kemiskinan justru makin parah dan 34 persen lain menyatakan kemiskinan di daerah otonom sama saja dengan sebelum dimekarkan. Hanya 28 persen respons yang menyatakan kemiskinan berkurang, dan sisanya empat persen responden menjawab tidak tahu.

Meski survei LSI itu hanya berdasar pada "persepsi", temuan itu harus menjadi bahan introspeksi para pemimpin di daerah untuk mengevaluasi kembali kegagalan otonomi di daerah masing-masing. Kini, ketika para pejabat tengah membuka peluang rekrutmen tenaga kerja baru harus dijadikan sarana paling efektif memperkuat perangkat kerja di daerah.

Teman saya yang juga bekerja sebagai PNS pernah bercerita tentang rendahnya kualitas pegawai daerah. Suatu hari seorang bawahannya menyodorkan proposal kegiatan seminar tentang antisipasi bencana alam. Si bawahan ternyata hanya menyalin proposal kegiatan sebelumnya, yaitu tentang lomba masak ibu-ibu Dharma Wanita. Karena kurang teliti, di proposal itu masih ada kalimat, "lomba masak memasak ini bertujuan meningkatkan keterampilan ibu rumah tangga".

Teman saya tersebut, yang merupakan atasannya, mencoret kalimat aneh itu dan membubuhkan tulisan: "Tolong sesuaikan dengan kegiatan kita." Ternyata oleh si bawahan, ketika proposal itu diketik ulang, kalimat soal ibu-ibu memasak memang hilang, dan diganti dengan kalimat "Tolong sesuaikan dengan kegiatan kita".
 

Menanti Pengadilan HAM Kasus Talangsari

Lampung Post, 07 Februari 2007

OPINI

Fadilasari
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Lampung

Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Dusun Talangsari III, Lampung Timur tahun 1989 lalu, mungkin sudah banyak dilupakan orang. Para aktivis yang selama ini menuntut agar kasus ini dibuka kembali seakan telah kehilangan semangat. Entah sudah kelelahan, atau mungkin juga putus asa karena sikap pemerintah yang tetap saja tidak punya itikad untuk membuka kembali kasus ini.

Menurut Komite Solidaritas Mahasiswa Lampung (Smalam), yang pernah menginvestigasi dan mengadvokasi kasus Talangsari—menyebutkan, sedikitnya ada 246 jiwa yang tewas akibat pembantaian yang dilakukan aparat militer, ke sebuah kelompok pengajian yang dipimpin Imam Warsidi. Jumlah itu bisa lebih besar, karena tak menutup kemungkinan ada korban yang tidak terdata.

Meski tuntutan yang mendesak pelaku pelanggaran HAM di Talangsari sudah gencar dilakukan sejak awal reformasi, namun pemerintah agaknya belum serius menanggapinya. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai lembaga resmi pemerintah untuk mengkaji dan meneliti HAM, pun seolah bekerja setengah hati.

Tim ad hoc yang dibentuk Komnas HAM untuk menyelidiki dan mengungkap kasus Talangsari pada Juni 2001 sempat mengalami kemandekan. Baru pada April 2005 Komnas HAM turun ke lapangan. Sebuah jeda waktu yang cukup untuk dipertanyakan. Hingga kini belum jelas, apa hasil kerja Komnas HAM tersebut. Belum ada pernyataan ke publik, bahwa lembaga ini mengkategorikan kasus Talangsari masuk pelanggaran HAM berat dan menentukan langkah selanjutnya..

Pengajian Warsidi memang terbilang aneh, ketika muncul pada tahun 1980-an lalu. Mereka yang membentuk kelompok pengajian di sepetak tanah 1,5 hektare di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Lampung Timur, kerap mengkritik pemerintah orde baru. Mereka mengecam pemerintah yang selalu melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Mereka menilai pemerintah Indonesia gagal mensejahterakan rakyat, gagal menciptakan keadilan, dan kemelaratan tumbuh dimana-mana. Dalam semua sisi kehidupan, baik ekonomi, politik, hukum, pemerintah orde baru tidak berpihak kepada rakyat.

Ekstrimnya pada masa itu, jemaah Warsidi kemudian menyimpulkan, Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), adalah produk gagal. Apalagi, ideologi dan dasar hukum Indonesia itu bersumber dari manusia, yang banyak kekurangan. Saking kesalnya pada tingkah laku pemerintah, mereka menyebut diri bukan warga negara Indonesia. Jemaah Warsidi lalu bercita-cita mengganti Al Qur’an dan hadist sebagai dasar negara dan sumber hukum. Al Qur’an dan hadist dinilai solusi yang paling tepat untuk mewujudkan cita-cita negara. Di dalamnya sudah ada berbagai ketentuan soal hukum, ekonomi, sosial, bahkan hubungan antar negara.

Perbedaan pendapat itu langsung direspon cepat pemerintah. Stigma sebagai gerombolan pengacau keamanan dan hendak merongrong ideologi Pancasila pun ditiupkan. Ujungnya, pada Selasa subuh yang naas, 7 Februari 1989, aparat keamanan dari berbagai kesatuan menyerbu pengajian Cihideung, dan menewaskan ratusan penduduk sipil. Puluhan korban lainnya ditangkap, disiksa, dan tak sedikit yang ditahan tanpa prose hukum.

Menurut Mahfud MD, dalam bukunya Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi (2006), penyelesaian hutang-hutang pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu akan menjadi salah satu kunci dalam upaya membangun Indonesia ke depan. Banyak agenda reformasi yang belum bisa dimulai dengan sungguh-sungguh karena bangsa Indonesia terus berkutat dalam persoalan-persoalan di masa lalu. Politik hukum di Indonesia harus mampu memberi solusi atas kasus pelanggaran HAM di masa lalu, yang kini bukan hanya menjadi persoalan hukum, tetapi juga menjadi persoalan politik.

Hukum yang Menindas
Perlakuan hukum di Indonesia yang masih membeda-bedakan warga negara, sesuai dengan karakteristik tipe hukum yang menindas seperti yang disebutkan Philipe Nonet, seorang ahli hukum dari Amerika. Menurutnya, hukum dalam satu negara terdapat dua tipe, yaitu menindas dan otonom. Hukum yang menindas nyaris tak mengikat pembuat peraturan (pemerintah). Hukuman atas suatu hal hanya diterapkan pada warga negara, yang dinilai bersalah, sesuai keinginan dan kepentingan kelompok yang berkuasa, dan sangat mengharamkan kritik.

Dari segi penegakan kasus HAM, hukum di Indonesia masuk kriteria kedua yang disebutkan Nonet. Sejak awal terjadinya kasus Talangsari, hanya para jemaah anggota pengajian Warsidi yang diganjar hukuman. Padahal sesungguhnya mereka adalah korban penyerbuan yang dilakukan aparat negara. Hukuman atas mereka pun terlihat sangat asal, karena sejak awal sudah dicap sebagai gerombolan pengacau. Ada yang dipenjara seumur hidup, ada yang ditahan selama 20 tahun, dan tak sedikit yang ditahan tanpa proses hukum.

Sementara anggota TNI yang membunuh ratusan jiwa di Talangsari, belum pernah diproses secara hukum. Bahkan desakan untuk membuka kembali kasus ini, berbuah intimidasi terhadap para korban pelanggaran HAM. Perbedaan perlakuan hukum ini karena para pelaku pelanggar HAM masih eksis di pemerintahan. Atau paling tidak, masih mempunyai pengaruh yang besar terhadap orang-orang yang kini mengendalikan pemerintahan Indonesia. Mereka juga berlindung pada jubah lama orde baru, yang menyebut pembantaian penduduk sipil itu adalah perintah atasan, untuk mengamankan negara. Jadi pelanggaran HAM dianggap sebagai kebijakan politik negara. Sedang aparat militer, hanyalah “alat”.

Ishlah
Selama ini aparat pemerintah dan penegak hukum setiap kali menghadapi desakan membuka kembali kasus Talangsari, selalu beralasan kasus pelanggaran HAM itu sudah selesai dengan ishlah. Padahal, hanya segelintir mantan jemaah Warsidi yang telah berishlah.

Ketika diislah pertama kali mencuat sekitar tahun 1998-1999, pengikuti jalan damai menurut Islam ini memang cukup banyak. Namun seiring waktu, mereka menarik islah, dan kembali menuntut kasus ini dibuka kembali. Alasannya cukup realistis, pihak pemberi islah ingkar janji. Iming-iming uang dan modal yang dijanjikan sebagai kompensasi islah, ternyata bohong belaka.

Namun islah ini ternyata sangat efektif untuk memecahbelah mantan jemaah pengajian Talangsari, sehingga seolah-olah bila kasus ini dibuka kembali akan menimbulkan perkelahian fisik yang hebat diantara kedua kelompok. Bila mantan jemaah yang menuntut kasus Talangsari dibuka dan diselesaikan lewat jalur hukum berdemonstrasi, kelompok menganggap kasus itu sudah selesai langsung menyikapinya. Mereka menggelar aksi serupa ke tempat yang sama, dengan tuntutan sebaliknya. Begitu terus berulang-ulang, baik di
Lampung maupun di Jakarta.

Bekas kelompok Talangsari yang proislah terkesan memang sangat responsif menanggapi setiap aksi dan pemberitaan yang menginnginkan pelaku pelanggaran HAM diadili. Bahkan sebuah tabloid di Bandar Lampung pernah digugat dan akhirnya membubarkan diri, setelah menurunkan laporan bertajuk “Darah Ditukar Rupiah” pada akhir tahun 1998 lalu.

Padahal islah yang dimaksud dalam agama Islam adalah proses maaf memaafkan yang dilandasi rasa ikhlas, dan bukan untuk mengejar imbalan materi. Pihak yang melakukan kesalahan harus meminta maaf secara terbuka kepada kelompok yang dirugikan.

Negara Otoriter Birokratik
Tindakan kekerasan yang lazim disebut pelanggaran HAM dimasa lalu memang tidak lepas dari sistem politik otoriter birokratik yang dianut negara Indonesia. Rakyat dilarang keras mendekati politik, dan hanya diminta memenuhi target di bidang ekonomi saja. Partisipasi masyarakat di bidang politik diharamkan, karena tugas rakyat hanya mengisi pembangunan dengan bergelut di bidang ekonomi. Untuk mengamankan tujuan inilah, negara menjadi sangat otoriter, karena pembangunan membutuhkan stabilitas politik. Setiap tindakan pelawan selalu dibabat, dengan alasan,” demi kepentingan nasional’, “demi kelancaran pembangunan”, dan sebagainya.

Pengadilan Sebagai Solusi yang Tepat
Setelah mahkamah konstitusi membatalkan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), tidak ada jalan lain untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, selain melalui pengadilan. Terlepas dari bobroknya citra peradilan, sejauh ini masyarakat Indonesia masih mempercayai pengadilan adalah sarana paling tepat untuk mendapat kan keadilan. Pengadilan HAM itu sudah lama dinanti-nantikan oleh para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM Talangsari, yang tak pernah berhenti berharap.

Tuntutan ini sesuai dengan UU pengadilan HAM, yang menyebut kasus pelanggaran HAM harus diselesaikan melalui pengadilan HAM. Hal itu sebagai wujud jaminan pelaksanaan HAM serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada setiap warga negara.

Siapa bisa menafikan bila kasus penyerbuan di Talangsari itu bukan pelanggaran HAM berat? Menurut Undang-Undang No 26 tahun 2000, tentang Pengadilan HAM, kriteria pelanggaran HAM berat diantaranya adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Menurut Undang-Undang itu, yang dimaksud kejahatan kemanusiaan adalah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistemik yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, diantaranya dengan cara pembunuhan, pemusnahan, dan penyiksaan. Dan sesuai dengan UU itu pula, disebutkan, pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum di undangkannya UU ini, diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM ad hoc.

Pengadilan ini jangan diartikan sebagai membuka luka lama, atau hendak balas dendam. Tapi sebagai upaya menegakkan hukum, di negara yang menyebut diri sebagai negara hukum. Mengadili kasus pelanggaran HAM, juga akan memperbaiki citra bangsa Indonesia di mata dunia internasional, yang selama ini dianggap sebagai negara yang kurang menghargai HAM warga negaranya.

Vonis bersalah pada pelaku pelanggar HAM dipastikan akan mengubah perilaku negara yang selama ini menyeramkan. Aparat pasti akan lebih berhati-hati melakukan tindak kekerasan, karena tidak ingin dicap pelanggar HAM. Bila pengadilan sudah menetapkan siapa pihak yang salah dan benar, bisa saja kedua belah pihak saling memaafkan dengan islah tadi. Melalui pengadilan juga bisa dilakukan rehabilitasi nama baik bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan. ****