Wednesday, March 5, 2008

Peluang Pengadilan HAM Kasus Talangsari

Lampung Post, Selasa, 4 Maret 2008

OPINI

Fadilasari

Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Unila

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pekan lalu telah memeriksa mantan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Laksamana (Purn.) Soedomo, terkait kasus pelanggaran HAM Talangsari. Soedomo dalam kapasitasnya sebagai menko polkam pada masa Orde Baru dianggap mengetahui peristiwa yang menewaskan ratusan penduduk sipil di Dukuh Cihideung, Dusun Talangsari III, Lampung Timur pada 7 Februari 1989.

Upaya Komnas HAM--melalui Tim Ad Hoc Kasus Talangsari--itu merupakan sebuah kemajuan, bila melihat proses penyelidikan yang berlarut-larut, bahkan kerap stagnan, sejak awal reformasi tahun 1998. Sebuah komisi negara yang selama dinilai tidak berdaya berhasil memeriksa seorang bekas petinggi militer, yang notabene dekat dengan (almarhum) Presiden Soeharto. Pemeriksaan Soedomo diharapkan menghapus kesan angkuh aparat militer yang tidak mau diperiksa aparat sipil (Komnas HAM).

Komnas HAM agaknya cukup cerdik menyiasati sistem komando di tubuh TNI. Biasanya, pemeriksaan selalu dimulai dari pejabat yang paling bawah, baru bergerak ke ke atas. Atasan itulah yang kerap mangkir sehingga menghambat proses penyelidikan suatu perkara. Pemeriksaan Soedomo diharapkan membuat petinggi TNI lain yang berada di bawahnya dapat memenuhi pemanggilan Komnas HAM. Mereka antara lain mantan Panglima ABRI, mantan Pangdam Sriwijaya dan Pangdam Diponegoro, mantan Danrem 043 Garuda Hitam, mantan Gubernur Lampung, dan seterusnya.

Langkah Komnas HAM memeriksa para mantan petinggi militer, yang dikategorikan "saksi yang diduga bertanggung jawab" memang sudah lama dijadwalkan. Ketika Tim Proyustisia Komnas HAM untuk kasus Talangsari (yang dilanjutkan Tim Ad Hoc) terbentuk pada Maret tahun lalu, mereka sudah mendata saksi-saksi yang akan dimintai keterangan. Namun, proses itu baru bisa laksanakan tahun ini karena Tim Komnas HAM masih memfokuskan pemeriksaan para saksi korban yang kini tersebar baik di Lampung, Jakarta, Solo, maupun Sumatera Selatan.

Peluang itu makin terbuka ketika Tim Ad Hoc melakukan hearing dengan Panglima TNI Jenderal Joko Santoso, Januari lalu. Meski "agak jengah" dengan rencana Komnas HAM tersebut, Jenderal Joko mempersilakan bila ada aparat militer yang akan diperiksa dalam kasus pelanggaran HAM masa lalu. Desakan reformasi agaknya telah mengubah pola pikir seorang petinggi militer, yang sangat menjaga "nama baik" korpsnya.

Langkah Komnas HAM periode 2007--2012 ini memang relatif ringan, ketimbang Komnas HAM periode sebelumnya. Selama ini kasus Talangsari terkesan "dipetieskan" karena ditubuh Komnas HAM selalu terjadi konflik internal. Anggota Komnas HAM yang berasal dari militer selalu menjegal upaya untuk menyelidiki kasus itu, meskipun tuntutan untuk membuka kasus tersebut sangat marak disuarakan. Komnas HAM periode ini, selain jumlahnya yang lebih sedikit (hanya 11 orang, sebelumnya ada 23 orang), tidak satu pun di antaranya yang berasal dari TNI/ Polri maupun mantan birokrat.

Ketika dilantik pada September 2007, Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim, berjanji memproritaskan penyelesaian empat kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu. Salah satu di antaranya kasus Talangsari. Bila Komnas HAM konsisten dengan janji tersebut, mereka hanya punya waktu hingga akhir bulan Maret ini untuk menyelesaikan proses penyelidikan, sebelum diserahkan pada Kejaksaan Agung.

Upaya membentuk sebuah pengadilan HAM ad hoc yang telah 19 tahun dinantikan para korban peristiwa Talangsari, mulai menunjukkan titik terang. Apalagi Mahkamah Konsitusi telah merevisi Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dengan "menyunat" peran DPR dalam pembentukan pengadilan HAM ad hoc. Sebelum diubah, DPR dapat memutuskan perlu atau tidaknya dibentuk Pengadilan HAM ad hoc hanya berdasarkan "dugaan" pelanggaran HAM berat (Penjelasan Pasal 43 Ayat [2] UU No. 26 Tahun 2000). Kata "dugaan" itu telah menimbulkan persepsi yang sangat lentur sehingga DPR dapat saja tidak merekomendasikan pengadilan HAM ad hoc bila ada pesanan dari pihak tertentu. Akibatnya, DPR (baca: Partai politik) telah menjadi tempat persembunyian yang empuk bagi pelaku pelanggaran HAM berat.

Hal ini pernah terjadi dalam kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II. Meski Komnas HAM menyimpulkan telah terjadi pelanggaran HAM berat, kerja keras komisi itu dimentahkan DPR, dengan bersepakat menyatakan kasus itu tidak memenuhi unsur pelanggaran HAM berat. Meski dikritik keras, DPR agaknya tebal muka dengan tetap mempertahankan suara lembaganya.

Penghapusan kata "dugaan" mempunyai konsekuensi hukum yang serius. DPR dalam menilai suatu perkara pelanggaran HAM, kini harus benar-benar memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan pihak yang berwenang, dalam hal ini Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.

Hasil penyelidikan Komnas HAM kemudian diserahkan pada kejaksaan yang diikuti dengan penyidikan kasus tersebut. Setelah penyidikan lengkap, dalam arti bukti-bukti hukum sudah cukup, tersangka telah ditetapkan, jaksa agung pun siap menuntut di pengadilan, barulah DPR diminta perannya mengeluarkan rekomendasi pengadilan HAM ad hoc.

Bisa saja kasus Talangsari ini dijadikan alat menguji UU Pengadilan HAM yang sudah direvisi Mahkamah Konstitusi, apakah mampu menjerat pelaku pelanggaran HAM atau tidak. Bila DPR masih saja dinilai menghambat terbentuknya pengadilan HAM ad hoc, sebaiknya peran DPR dipangkas sama sekali.

Menurut UUD 1945, fungsi DPR adalah legislasi, anggaran, dan pengawasan, yang utamanya menjalankan kekuasaan membentuk Undang-Undang. Campur tangan DPR hanya akan menimbulkan intervensi kekuasaan politik terhadap proses hukum yang merupakan bagian kekuasaan kehakiman.

Kemungkinan besar para aparat militer yang diperiksa akan menjawab bahwa pelanggaran HAM itu dilakukan untuk menjaga keutuhan negara yang hendak dirongrong sekelompok orang di pengajian Warsidi, Lampung. Kebijakan itu memang populer di masa Orde Baru yang mengedepankan pembangunan ekonomi dengan memberangus partisipasi politik warga negaranya.

Jemaah Warsidi saat itu memang kerap mengkritik pemerintah Orde Baru yang dinilai gagal menyejahterakan rakyat, dan menolak asas tunggal Pancasila. Hingga tidak heran pada masa pemerintahan Soeharto pembunuhan terhadap penduduk sipil terjadi di mana-mana karena mereka sudah diberi stigma sebagai musuh negara. Untuk menilai apakah yang dilakukan para penguasa pada saat itu melanggar hukum dan HAM atau tidak, itulah perlunya digelar sebuah pengadilan HAM.

Pengadilan HAM ad hoc Talangsari bukan hanya untuk memberi efek jera bagi pelaku pelanggaran HAM, juga untuk memberi keadilan bagi para korban. Mereka yang selamat dari penyerbuan aparat, ditangkap, disiksa, dan dipenjarakan akibat pengadilan yang tidak independen, karena sangat berpihak pada penguasa. Bahkan, tidak sedikit warga yang ditangkap dan disiksa berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, itu adalah penduduk yang tidak tahu menahu peristiwa Talangsari.

Kerugian korban bukan hanya kehilangan nyawa orang tua, keluarga, dan sanak famili, tapi mereka juga menderita secara ekonomi. Sejumlah korban kehilangan rumah dan isinya karena ikut dibakar aparat dalam peristiwa itu, kehilangan mata pencarian karena lokasi tempat mereka tinggal ditutup untuk umum dan diambil alih aparat keamanan selama bertahun-tahun.

Namun, upaya membentuk pengadilan HAM ad hoc Talangsari, tidak semata-mata menjadi kewajiban Komnas HAM, Kejaksaan Agung, dan DPR. Tidak kalah penting adalah peran presiden. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, dua kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu dapat diproses pengadilan, yaitu Kasus Tanjungpriok dan Timor-Timur. Saat itu Gus Dur sangat mendukung kerja Komnas HAM dan Kejaksaan Agung mengungkap kembali kedua kasus pelanggaran HAM berat itu.

Pada kasus Talangsari, belum tampak sama sekali bagaimana sikap Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Seharusnya Presiden lebih proaktif, dan memerintahkan pimpinan TNI bekerja sama dengan Komnas HAM. Apakah SBY bisa mengambil peran sebagai seorang TNI yang reformis atau menjadi pelindung pelaku pelanggaran HAM, kita lihat saja babak berikutnya. ****