Monday, June 11, 2007

Korban Talangsari Masih Bertikai

Selasa, 1 Mei 2007
UTAMA

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Kasus Talangsari tahun 1989 memicu pertikaian panjang. Kubu kontra islah menyatakan tragedi ini harus diproses, yang pro menganggap bukan pelanggaran HAM dan sudah selesai.

Perbedaan sikap ini terjadi saat diskusi buku Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung karya Fadilasari, jurnalis yang juga mahasiswa pascasarjana Universitas Lampung, Senin (30-4) di belakang kantor rektorat.

Diskusi yang dibuka Pembantu Rektor III Unila M. Thoha B. Sampurna Jaya ini menghadirkan empat pembicara: Jayus (saksi korban), Usman Hamid (Koordinator Kontras), Safrudin (dosen Fakultas Hukum Unila), dan Fadilasari. Sejumlah saksi dan keluarga korban juga hadir, antara lain Azwar Kaili, Suparno, Paimun, Sucipto Prayitno, Mardi, Kasmanto, dan Amir. Sukardi dan Sudarsono dari kubu pro-islah juga hadir; mereka kini menetap di Jakarta. Selain itu, hadir juga Kepala Penerangan Korem 143/Gatam, Kapten CHB Deden, didampingi dua anggota Intel.

Saat diskusi, terjadi kericuhan antara Widagdo Hadi Maksum dari LSM Amanah Pondok Pesantren Lampung dengan Azwar Kaili. Kericuhan berawal ketika Widagdo menginstruksi Usman Hamid menghentikan pemaparan kerugian korban Talangsari.

Menurut Usman, pemerintah saat itu tidak bisa menerima kritik sehingga melakukan kekerasan dengan membantai dan membakar anak-anak, wanita, dan orang tua. "Sampai sekarang tidak ada yang memperhatikan kelanjutan kehidupan para korban, janda, dan anak-anak yatim di Talangsari. Mereka kesulitan melanjutan pendidikan, tidak diterima kerja karena dicap ekstrem kanan," kata Usman.

Widagdo menyela penuturan Usman. "Anda tidak usah mengatakan hal itu akan menyebabkan pemiskinan ekonomi bagi korban. Korban jangan dieksploitasi dan dipolitisasi. Kasus ini sudah selesai," kata Widagdo yang meminta moderator, praktisi pers Ibnu Khalid, membatasi pembicaraan.

Mendengar perkataan Widagdo, Azwar langsung berdiri. Dengan muka merah dan suara gemetaran, ia mengarahkan jari telunjuk kepada Widagdo. "Anak saya hilang, saya tidak tahu kabarnya sampai sekarang. Kasus ini tidak akan pernah selesai sampai dibawa ke pengadilan," kata Azwar.

Ia lalu bergerak menuju Widagdo. Perang mulut pun tak bisa dihindari dan berlangsung cukup lama. Moderator, panitia, dan peserta menenangkan mereka. Akhirnya, kericuhan yang nyaris berujung baku hantam ini dapat dicegah sehingga dialog dapat diteruskan.

Bagi Sukardi, peristiwa Talangsari bukan pelanggaran HAM, tetapi aksi mujahid mendirikan negara Islam. "Saya dahulu anggota pasukan khusus Front Pemuda Mujahidin Fisabililah yang berjuang mendirikan negara Islam di Lampung," kata Sukardi.Sesuai dengan syariat Islam, penduduk desa yang dibantai aparat itu dianggap sebagai mujahid. "Sekarang sudah islah dengan aparat," ujarnya. Bagi yang kontra islah, peristiwa yang terjadi tanggal 7--8 Februari 1989 ini pelanggaran HAM. Dengan bantuan Kontras, mereka terus menempuh jalur hukum.

"Kami berharap jika kasus ini sampai pengadilan, tidak banyak hambatan dan tekanan untuk korban," kata Jayus, salah satu saksi korban saat dialog dengan jajaran Redaksi Lampung Post di kantor harian ini, kemarin. Jayus dan korban kontra islah lainnya datang ke Lampung Post didampingi Koordinator Kontras Usman Hamid.

Sebelum bertemu rombongan Jayus, kubu pro-islah juga berdialog dengan Redaksi Lampung Post. "Talangsari dijadikan komodisi oleh Kontras, bukan membela keadilan. Ini untuk kepentingan sekelompok orang. Saat masih berada di Kontras, kasus ini diungkap untuk mendobrak Hendropriyono (mantan Danrem 043 Gatam, saat pecah kasus Talangsari, red). "Ini pembunuhan karakter Pak Hendro," kata Riyanto didampingi Sudarsono dan Sukardi yang semuanya mantan pasukan Mujahidin Fisabililah. n RIN/ITA/RIS/U-1
Cetak Berita Email Berita

Kasus Talangsari Dibuka Lagi

Nasional
Jum'at, 01 April 2005 15:43 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mulai turun lapangan untuk mengungkap kasus pelanggaran HAM di Talangsari, Lampung. Mereka menemui para saksi korban yang tersebar di beberapa tempat di Lampung. Tim penyelidikan kasus Talangsari ini, rencananya akan melakukan investigasi lapangan hingga hari Minggu (3/4) mendatang.

Menurut ketua tim penyelidikan Kasus Talangsari tersebut, Eni Suprapto, pertanyaan yang diajukan kepada para saksi korban adalah seputar keterlibatan mereka dalam kasus itu, dan pelanggaran HAM apa saja yang dialami saksi korban. "Setelah mewawancarai sejumlah saksi korban, kami menilai memang ada pelanggaran HAM," kata Eni di sela-sela tugasnya mewawancarai saksi korban di Desa Sidorejo, Lampung Timur.

Diantara pelanggaran HAM tersebut adalah pembunuhan dengan sewenang-wenang, terjadi penyiksaan, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, dan kebebasan bergerak. "Semua informan yang kami temui, mengalami pelanggaran HAM jenis ini,"ujarnya.Kasus Talangsari terjadi pada Selasa 7 Februari 1989. Akibat penyerbuan yang dilakukan aparat keamanan ke pondok pengajian di Desa Talangsari III, Lampung Timur, sedikitnya 246 korban meninggal dunia. Puluhan korban lainnnya dipenjarakan, baik melalui proses hokum maupun tanpa proses hukum.

Menurut Eni, setelah menggali data dari saksi korban, tim Komnas HAM juga akan meng kroscek pada para pelaku. Pihak yang dapat dikategorikan pelaku dalam kasus ini adalah Komando Resort Militer (Korem) 043 Garuda Hitam, Polisi Daerah (Polda) Lampung, dan Pemerintah Propinsi Lampung. "Meskipun orang-orang yang terlibat sudah tidak ada lagi di Lampung, paling tidak kami memproleh keterangannya sebagai sebuah instansi, kami juga akan meminta keterangan Kolonel Hendro Priyono, selaku mantan Danrem 043 Garuda Hitam, yang memimpin penyerbuan ke Talangsari,"katanya.

Setelah melakukan kros cek, tim ini akan memberikan rekomendasi kepada Komnas HAM selalu lembaga, tindak lanjut yang harus dilakukan. Dikatakannya, tim ini berkerja berlandaskan Undang-Undang No 39 tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia. "Hasil akhirnya, Komnas HAM akan memberikan rekomendasi kepada lembaga yang diketahui melakukan pelanggaran HAM, untuk mengambil tindakan,"ujarnya.

Komnas HAM sebenarnya sudah membentuk tim ad hoc kasus Talangsari, sejak Juni 2001 lalu. Namun baru sekarang tim Komnas tersebut turun lapangan. Banyak kalangan menilai Komnas HAM tidak berani mengusut kasus tersebut, karena ada intervensi dari pihak luar. "Dulu kerja Komnas HAM tertunda karena ada pergantian anggota. Bukan karena tekanan dari pihak manapun, apalagi dari unsur kekuasaan,"kata Eni.

Meskipun korban sebagian korban Kasus Talangsari menyatakan sudah ishlah dengan Hendro Priyono, menurut Eni, tidak berarti proses hukum kasus itu selesai. "Yang mau ishlah silakan saja. Namun itu tidak berarti pelaku kejahatan HAM dalam peristiwa Talangsari ini dapat lolos dari jeratan hukum,"katanya.

Sejumlah korban yang ditemui mengaku senang dengan turunnya tim Komnas Ham tersebut. "Saya merasa lega. Setelah berjuang bertahun-tahun, akhirnya Komnas HAM mau juga memperhatikan kami,"kata Azwar, 65 tahun, salah seorang korban. Azwar berharap, kerja Komnas HAM jangan berhenti pada pengumpulan data saja. "Kami minta agar ada proses hukumnya. Pelaku pelanggaran HAM juga harus diadili,"ujarnya.Fadilasari