Friday, February 22, 2008

Seleksi CPNSD, Rekrutmen atau Bisnis?

Lampung Post, Kamis, 24 Januari 2008 
 
 
Oleh  Fadilasari

Jurnalis di Bandar Lampung

Beberapa waktu lalu, seorang teman menyarankan saya membaca pengumuman seleksi penerimaan pegawai negeri sipil daerah (CPNSD) yang dimuat di koran lokal. Teman saya yang bekerja sebagai PNS di salah satu kabupaten di Lampung itu mengatakan menjadi PNS jauh lebih enak ketimbang menjalani profesi yang kini tengah saya tekuni. "Kita tidak perlu berpikir dan bekerja keras, setiap bulan gaji terus mengalir," ujarnya.

Belum lagi saya menjawab, dia sudah nyerocos, "Kalau kamu mau, nanti saya kasih tahu jalurnya. Tarifnya rata-rata Rp100 juta. Tapi kalau kamu bisa kontak dengan pejabat tinggi di daerah, bisa dapat diskon...."

Astagfirullahal adzim. Dari mana saya uang sebanyak itu. Berapa tahun saya harus bekerja mengumpulkan uang dengan profesi yang sekarang agar bisa mendaftar PNS? Lantas setelah saya banting tulang mendapatkan uang itu, mungkinkah saya rela menyerahkannya pada orang lain "hanya sekadar" meminta belas kasihan "dipertimbangkan" menjadi abdi negara. Atau saya harus mencari pinjaman, yang mungkin juga harus saya lunaskan dalam tempo entah berapa tahun setelah menerima gaji PNS.

Menjadi PNS memang masih menjadi impian banyak orang. Bahkan, tidak sedikit orang tua sangat bangga jika anaknya menjadi PNS yang gajinya ratusan ribu, ketimbang menjadi pengusaha dengan penghasilan jutaan rupiah. Profesi PNS dianggap sebagai kebanggaan dan meningkatkan "harga diri" dalam bermasyarakat.

Selain itu, PNS mempunyai banyak tunjangan penghasilan, termasuk masih menerima gaji bila sudah pensiun. Faktor yang menarik lain, surat keputusan (SK) pengangkatan PNS dapat "digadaikan" di bank untuk mencari utangan, sehingga terbuka peluang membuka bisnis lain.

Pola pikir bahwa PNS "tidak perlu berpikir dan bekerja keras" selama ini telah menggeser citra PNS, dari "pejuang pengisi pembangunan" menjadi "SDM yang lemah dan pemalas" atau "kumpulan orang-orang yang tidak mempunyai keahlian". Setiap hari berangkat kerja untuk mengisi absen dan menghitung kapan libur lagi. Akibatnya, tidak sedikit generasi muda yang antipati terhadap profesi PNS dan mencemooh rekan-rekannya yang mendaftarkan diri sebagai PNS.

Tidak ada yang salah dengan profesi PNS. Termasuk kebanggaan menjadi PNS bukan sesuatu yang patut dicerca. PNS adalah sumber daya manusia (SDM) yang sangat menentukan apakah suatu pemerintahan, baik di kabupaten, kota, maupun provinsi berjalan baik atau tidak.

Namun, persoalan besar yang selalu melingkupi setiap seleksi CPNSD adalah banyaknya "kecurangan" dalam penerimaan pegawai. Di Lampung misalnya, ujian CPNSD selalu menuai protes aktivis lembaga swadaya masyarakat, pengamat, perguruan tinggi, hingga calon-calon PNS yang tidak lolos seleksi.

Meski hingga kini belum ada pengadilan yang membuktikan telah terjadi suap menyuap dalam seleksi PNS, aroma "uang haram" sangat tajam begitu peluang penerimaan PNS dibuka. Bahkan, kasuk-kusuk itu sudah mulai dari jauh-jauh hari. Para sarjana yang sudah mendapat bekal ilmu pengetahuan dan idealisme bertahun-tahun di perguruan tinggi rela malu(?) melakukan segala cara agar dapat mengenakan baju seragam PNS.

B.N. Marbun, dalam bukunya Otonomi Daerah 1945-2005, Proses dan Realita, mengatakan bila pelaksanaan otonomi daerah ingin berhasil, salah satu faktor utama dan yang paling awal adalah pembenahan SDM. Mantan anggota DPR/MPR itu mengajukan persyaratan bahwa SDM tersebut harus terdiri dari orang-orang yang kreatif, pembelajar, tanggap terhadap perubahan, berorientasi ke depan, disiplin tinggi, dan mampu menjadi pelayan publik.

Lengkapnya lagi, SDM yang ada di pemerintahan daerah harus orang yang bermotivasi tinggi, mengerti manajemen organisasi, mengerti teknologi mutakhir termasuk teknologi informasi, kreatif, dan tidak bermental korup.

Membenahi SDM yang sudah ada bukan perkara gampang. Apalagi bila SDM tersebut sudah bertahun-tahun (atau mungkin puluhan tahun) selalu berada dalam kinerja yang santai, malas, dan korup. Sebab itu, yang efektif dilakukan adalah memperbaiki pola rekrutmen. Baik atau tidaknya sebuah organisasi sangat ditentukan pola rekrutmen tersebut.

Untuk itu perlu ada proses rekrutmen yang transparan dan jauh dari praktek uang. Bila perlu nilai para peserta tes dipublikasikan. Kalau tidak di media massa, cukup di papan pengumuman di setiap kesekretariatan.

Bila pola rekrutmen asal-asalan atau diwarnai penyakit korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) dapat dipastikan SDM yang didapat juga buruk. Setiap organisasi pemerintahan pasti mengharapkan tenaga muda yang baru diangkat dapat mewujudkan cita-cita pemerintahan yang ideal, yaitu menciptakan menciptakan masyarakat yang maju, adil, dan makmur.

Pegawai adalah subjek utama dan pertama yang akan menentukan arah dan pelaksanaan kerja atau menerjemahkan perencanaan menjadi kenyataan. Dalam kontek pelaksanaan otonomi daerah, kinerja pegawai negeri adalah tolok ukur berhasil atau tidaknya pembangunan di suatu daerah otonom.

Sejak euforia otonomi daerah bermunculan pada awal reformasi, ternyata sebagian besar daerah-daerah pemekaran belum mampu mewujudkan tujuan otonomi daerah. Setelah bertahun-tahun daerah otonom tidak mengalami kemajuan berarti. Justru yang terjadi, pemekaran daerah hanya menambah beban keuangan negara. Kegagalan atau lambannya proses kemajuan di daerah otonom itu, salah satu di antaranya disebabkan perangkat daerah tidak siap bekerja.

Baru-baru ini penelitian Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyebutkan pelaksanaan otonomi daerah sejak 1999 telah gagal. Sebanyak 34 responden menyatakan selama otonomi kemiskinan justru makin parah dan 34 persen lain menyatakan kemiskinan di daerah otonom sama saja dengan sebelum dimekarkan. Hanya 28 persen respons yang menyatakan kemiskinan berkurang, dan sisanya empat persen responden menjawab tidak tahu.

Meski survei LSI itu hanya berdasar pada "persepsi", temuan itu harus menjadi bahan introspeksi para pemimpin di daerah untuk mengevaluasi kembali kegagalan otonomi di daerah masing-masing. Kini, ketika para pejabat tengah membuka peluang rekrutmen tenaga kerja baru harus dijadikan sarana paling efektif memperkuat perangkat kerja di daerah.

Teman saya yang juga bekerja sebagai PNS pernah bercerita tentang rendahnya kualitas pegawai daerah. Suatu hari seorang bawahannya menyodorkan proposal kegiatan seminar tentang antisipasi bencana alam. Si bawahan ternyata hanya menyalin proposal kegiatan sebelumnya, yaitu tentang lomba masak ibu-ibu Dharma Wanita. Karena kurang teliti, di proposal itu masih ada kalimat, "lomba masak memasak ini bertujuan meningkatkan keterampilan ibu rumah tangga".

Teman saya tersebut, yang merupakan atasannya, mencoret kalimat aneh itu dan membubuhkan tulisan: "Tolong sesuaikan dengan kegiatan kita." Ternyata oleh si bawahan, ketika proposal itu diketik ulang, kalimat soal ibu-ibu memasak memang hilang, dan diganti dengan kalimat "Tolong sesuaikan dengan kegiatan kita".
 

No comments: