Friday, February 22, 2008

Talangsari dan Kepahlawanan Soeharto

Lampung Post, Rabu, 6 Februari 2008

OPINI

Oleh Fadilasari

Penulis Buku Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung.


Ketika mantan Presiden Soeharto dirawat di rumah sakit pada 10 Januari 2008, semua media massa seperti saling berlomba mengabarkan ihwal kesehatan sang bapak pembangunan. Setiap media seolah tidak mau ketinggalan menyajikan informasi sekecil dan sedetail mungkin tentang perkembangan kesehatannya, yang sempat naik turun.

Dari sekian banyak pemberitaan soal Soeharto, kebanyakan media hanya membentuk opini publik untuk mengasihani sang jenderal besar yang terbaring gering, terutama media televisi yang selalu mengabarkan detik per detik kesehatan penguasa Orde Baru tersebut.

Saat Soeharto dinyatakan wafat, secepat kilat perhatian media massa pun tertumpah pada peristiwa yang dianggap teramat sangat dahysat tersebut. Media televisi menghapus acara-acara reguler, dan menggantinya dengan berita seputar kematian dan pemakaman Soeharto. Seolah-olah kebutuhan informasi rakyat Indonesia hanya soal Soeharto seorang. Lebih serunya lagi, kisah-kisah keberhasilan Soeharto selama 32 tahun pun diputar ulang siang dan malam di televisi. Media tidak lagi independen karena nyaris tidak mengulas sisi buruk Soeharto yang sarat dengan kekejaman, pelanggaran HAM, dan pembunuh demokrasi.

Belum lagi kisah keberhasilan Soeharto hapus dari media, muncul lagi wacana untuk menobatkan Soeharto sebagai pahlawan. Jelas, rencana itu mendapat tentangan keras kelompok pejuang demokrasi karena dinilai hanya akan menyakiti para korban pelanggaran hak asasi manusia, yang tersebar di Aceh, Tanjungpriok, Talangsari, dan korban-korban peristiwa G-30-S/PKI. Soeharto dinilai tidak layak menyandang gelar pahlawan karena semasa kepemimpinannya banyak sekali pelanggaran HAM dan menewaskan ratusan ribu bahkan mungkin jutaan masyarakat Indonesia.

Di Lampung sendiri, jejak pelanggaran HAM Soeharto yang teramat nyata dan belum selesai hingga kini adalah kasus pembunuhan terhadap komunitas pengajian pimpinan Warsidi di Dukuh Cihideung, Dusun Talangsari III, Kecamatan Labuhan Ratu, Lampung Timur (dahulu masuk Kecamatan Way Jepara, Lampung Tengah).

Menurut data Komite Solidaritas Mahasiswa Lampung (Smalam), tim investigasi dan advokasi korban peristiwa Talangsari, setidaknya 246 penduduk sipil tewas dihajar senjata aparat pada 7 Februari 1989. Tanggal 7 Februari besok, berarti telah 19 tahun pelanggaran HAM itu terjadi.

Ratusan umat Islam itu dibantai hanya karena mengkritik pemerintah Orde Baru, yang kerap melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Jemaah Warsidi mengecam pemerintah yang gagal menyejahterakan rakyat dan gagal menciptakan keadilan. Kemelaratan terjadi di mana-mana. Ekonomi hanya dikuasai kaum elite yang dekat dengan kekuasaan. Hukum tidak berpihak para rakyat kecil. Dalam semua sisi kehidupan baik ekonomi, politik, maupun hukum, pemerintah Orde Baru tidak berpihak pada rakyat. Jemaah Warsidi kemudian menyimpulkan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) adalah produk gagal.

Kritik yang digencarkan "pada masa yang tidak tepat" itu langsung membuat penguasa Orde Baru tersulut emosinya. Pendekatan kekuasaan pun dilakukan, dengan menghabisi komunitas tersebut. Jemaah Warsidi ditembak dan sebagian dibakar hidup-hidup dalam pondok. Kebanyakan yang dibakar hidup-hidup adalah wanita dan anak-anak. Mereka yang selamat kemudian dipenjarakan.

Orde Baru memang pemerintahan yang antikritik. Jangankan komunitas pengajian di perkampungan macam Talangsari, kaum intelektual dan mahasiswa pun dijebloskan ke bui. Mereka dituduh menghina kepala negara. Kritik dianggap distruktif yang hanya akan mengganggu proses pembangunan. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi telah membunuh partisipasi publik dalam berdemokrasi.

Setelah Soeharto tiada, bukan berarti peristiwa pelanggaran HAM itu dihapus begitu saja. Momen itu justru menjadi harapan bagi korban pelanggaran HAM untuk mendapatkan keadilan, yang selama ini terbenam dalam jubah kebesaran The Smiling General. Kini, harusnya membawa kasus itu ke pengadilan HAM menjadi relatif lebih mudah karena pengambil keputusan tertinggi dalam peristiwa tersebut telah tiada. Bagaimanapun pelaku pelanggaran HAM bukan Soeharto seorang. Melainkan juga para pengambil keputusan (decision maker) lainnya dan pelaku di lapangan, baik sipil maupun militer.

Walaupun begitu, mengadili pelaku pelanggaran HAM tetap akan diadang berbagai kendala. Menurut Mahfud M.D., menyelesaikan kasus pelanggaran HAM pasti menemui kendala teknis prosedural dan kendala politis. Persoalan prosedural menyangkut Undang-Undang Pengadilan HAM yang belum secara tegas mengatur proses dan tata cara pelaksanaan pengadilan HAM berat. Sedangkan kendala politis terkait dengan banyaknya tangan-tangan kuat yang menghalangi proses hukum pelanggaran HAM.

Kendala politik merupakan persoalan yang lebih serius dibanding dengan masalah teknis prosedural. Banyak pejabat penting di birokrasi pemerintahan yang secara langsung maupun tidak terlibat pelanggaran yang dilakukan rezim Orde Baru. Sistem yang dibangun Orde Baru telah memaksa banyak pejabat masuk jebakan sistem yang menyeretnya dalam kasus pelanggaran HAM. Mereka kini masih tersebar di berbagai instansi atau lembaga negara di tingkat pusat maupun daerah.

Hal yang terpenting dari sebuah pengadilan HAM adalah rehabilitasi nama baik dan memberikan hak para korban. Sampai kini para korban peristiwa Talangsari masih hidup dalam stigma Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), Komunitas Antipemerintah atau Islam PKI. Mereka terus menanggung beban sosial di masyarakat, dan tidak mendapatkan hak sebagai warga negara.

Seperti kisah seorang guru agama di Lampung Timur, yang ditangkap saat akan berangkat mengajar ketika aparat "membersihkan" gerakan Talangsari, pada 9 April 1989. Setelah 15 bulan ditahan, tidak ditemukan kaitan antara si bapak guru dan peristiwa Talangsari. Ketika kembali mengajar, dia hanya menerima separo gaji hingga pensiun pada 2005, dan tidak pernah mendapat kenaikan pangkat baik.

Tragisnya setelah pensiun, guru sekolah dasar itu tidak pernah mendapat tunjangan pensiun seperti pegawai negeri sipil pada umumnya. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menggapai hak, tapi hingga kini masih mentok.

Usulan yang menginginkan Soeharto dinobatkan menjadi pahlawan pasti akan ditolak para korban pelanggaran HAM. Logikanya, bila sang mantan Presiden dikukuhkan sebagai pahlawan, para korban pelanggaran HAM tetap dipandang sebagai "kaum pemberontak" atau GPK seumur hidup. Karena apa yang dilakukan pahlawan semasa hidup pastilah sudah benar. Penobatan sebagai pahlawan juga akan mempersulit aparat kejaksaan yang ingin mengembalikan uang negara yang sudah dikorupsi keluarga Soeharto dan kroni-kroninya. (Cukup Soeharto bergelar Bapak Pembangunan karena pada masa Orde Baru ekonomi dan pembangunan cukup baik).

Wacana itu juga akan berdampak pada para pelaku pelanggar HAM yang masih hidup. Status pahlawan bagi Soeharto akan menjadi tempat berlindung yang empuk bagi mereka dari kejaran hukum sehingga pengadilan HAM pun bakal menemui jalan buntu. Pembunuhan yang dilakukan pada masa lalu pun akan terus dislogankan sebagai upaya untuk menciptakan stabilitas nasional atau menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kepergian Soeharto seperti yang disiarkan media massa memang teramat syahdu. Dia telah meninggalkan pelajaran yang tak lengkap bagi penegakan hukum. Namun kita yang masih hidup tentunya tidak boleh membunuh optimisme bahwa satu saat dewi keadilan pasti menampakkan dirinya.

Bila hukum bagi pelaku pelanggar HAM tidak ditegakkan, peluang terjadinya kejahatan HAM seperti pada masa lalu akan mudah terulang. Jangan sampai penegakan hukum di negara ini terus seperti menari poco-poco--meminjam istilah mantan Presiden Megawati Soekarnoputri--satu langkah maju, satu langkah mundur. Dua langkah maju, lalu mundur pun dua langkah.

No comments: