Friday, February 22, 2008

Menanti Pengadilan HAM Kasus Talangsari

Lampung Post, 07 Februari 2007

OPINI

Fadilasari
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Lampung

Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Dusun Talangsari III, Lampung Timur tahun 1989 lalu, mungkin sudah banyak dilupakan orang. Para aktivis yang selama ini menuntut agar kasus ini dibuka kembali seakan telah kehilangan semangat. Entah sudah kelelahan, atau mungkin juga putus asa karena sikap pemerintah yang tetap saja tidak punya itikad untuk membuka kembali kasus ini.

Menurut Komite Solidaritas Mahasiswa Lampung (Smalam), yang pernah menginvestigasi dan mengadvokasi kasus Talangsari—menyebutkan, sedikitnya ada 246 jiwa yang tewas akibat pembantaian yang dilakukan aparat militer, ke sebuah kelompok pengajian yang dipimpin Imam Warsidi. Jumlah itu bisa lebih besar, karena tak menutup kemungkinan ada korban yang tidak terdata.

Meski tuntutan yang mendesak pelaku pelanggaran HAM di Talangsari sudah gencar dilakukan sejak awal reformasi, namun pemerintah agaknya belum serius menanggapinya. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai lembaga resmi pemerintah untuk mengkaji dan meneliti HAM, pun seolah bekerja setengah hati.

Tim ad hoc yang dibentuk Komnas HAM untuk menyelidiki dan mengungkap kasus Talangsari pada Juni 2001 sempat mengalami kemandekan. Baru pada April 2005 Komnas HAM turun ke lapangan. Sebuah jeda waktu yang cukup untuk dipertanyakan. Hingga kini belum jelas, apa hasil kerja Komnas HAM tersebut. Belum ada pernyataan ke publik, bahwa lembaga ini mengkategorikan kasus Talangsari masuk pelanggaran HAM berat dan menentukan langkah selanjutnya..

Pengajian Warsidi memang terbilang aneh, ketika muncul pada tahun 1980-an lalu. Mereka yang membentuk kelompok pengajian di sepetak tanah 1,5 hektare di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Lampung Timur, kerap mengkritik pemerintah orde baru. Mereka mengecam pemerintah yang selalu melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Mereka menilai pemerintah Indonesia gagal mensejahterakan rakyat, gagal menciptakan keadilan, dan kemelaratan tumbuh dimana-mana. Dalam semua sisi kehidupan, baik ekonomi, politik, hukum, pemerintah orde baru tidak berpihak kepada rakyat.

Ekstrimnya pada masa itu, jemaah Warsidi kemudian menyimpulkan, Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), adalah produk gagal. Apalagi, ideologi dan dasar hukum Indonesia itu bersumber dari manusia, yang banyak kekurangan. Saking kesalnya pada tingkah laku pemerintah, mereka menyebut diri bukan warga negara Indonesia. Jemaah Warsidi lalu bercita-cita mengganti Al Qur’an dan hadist sebagai dasar negara dan sumber hukum. Al Qur’an dan hadist dinilai solusi yang paling tepat untuk mewujudkan cita-cita negara. Di dalamnya sudah ada berbagai ketentuan soal hukum, ekonomi, sosial, bahkan hubungan antar negara.

Perbedaan pendapat itu langsung direspon cepat pemerintah. Stigma sebagai gerombolan pengacau keamanan dan hendak merongrong ideologi Pancasila pun ditiupkan. Ujungnya, pada Selasa subuh yang naas, 7 Februari 1989, aparat keamanan dari berbagai kesatuan menyerbu pengajian Cihideung, dan menewaskan ratusan penduduk sipil. Puluhan korban lainnya ditangkap, disiksa, dan tak sedikit yang ditahan tanpa prose hukum.

Menurut Mahfud MD, dalam bukunya Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi (2006), penyelesaian hutang-hutang pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu akan menjadi salah satu kunci dalam upaya membangun Indonesia ke depan. Banyak agenda reformasi yang belum bisa dimulai dengan sungguh-sungguh karena bangsa Indonesia terus berkutat dalam persoalan-persoalan di masa lalu. Politik hukum di Indonesia harus mampu memberi solusi atas kasus pelanggaran HAM di masa lalu, yang kini bukan hanya menjadi persoalan hukum, tetapi juga menjadi persoalan politik.

Hukum yang Menindas
Perlakuan hukum di Indonesia yang masih membeda-bedakan warga negara, sesuai dengan karakteristik tipe hukum yang menindas seperti yang disebutkan Philipe Nonet, seorang ahli hukum dari Amerika. Menurutnya, hukum dalam satu negara terdapat dua tipe, yaitu menindas dan otonom. Hukum yang menindas nyaris tak mengikat pembuat peraturan (pemerintah). Hukuman atas suatu hal hanya diterapkan pada warga negara, yang dinilai bersalah, sesuai keinginan dan kepentingan kelompok yang berkuasa, dan sangat mengharamkan kritik.

Dari segi penegakan kasus HAM, hukum di Indonesia masuk kriteria kedua yang disebutkan Nonet. Sejak awal terjadinya kasus Talangsari, hanya para jemaah anggota pengajian Warsidi yang diganjar hukuman. Padahal sesungguhnya mereka adalah korban penyerbuan yang dilakukan aparat negara. Hukuman atas mereka pun terlihat sangat asal, karena sejak awal sudah dicap sebagai gerombolan pengacau. Ada yang dipenjara seumur hidup, ada yang ditahan selama 20 tahun, dan tak sedikit yang ditahan tanpa proses hukum.

Sementara anggota TNI yang membunuh ratusan jiwa di Talangsari, belum pernah diproses secara hukum. Bahkan desakan untuk membuka kembali kasus ini, berbuah intimidasi terhadap para korban pelanggaran HAM. Perbedaan perlakuan hukum ini karena para pelaku pelanggar HAM masih eksis di pemerintahan. Atau paling tidak, masih mempunyai pengaruh yang besar terhadap orang-orang yang kini mengendalikan pemerintahan Indonesia. Mereka juga berlindung pada jubah lama orde baru, yang menyebut pembantaian penduduk sipil itu adalah perintah atasan, untuk mengamankan negara. Jadi pelanggaran HAM dianggap sebagai kebijakan politik negara. Sedang aparat militer, hanyalah “alat”.

Ishlah
Selama ini aparat pemerintah dan penegak hukum setiap kali menghadapi desakan membuka kembali kasus Talangsari, selalu beralasan kasus pelanggaran HAM itu sudah selesai dengan ishlah. Padahal, hanya segelintir mantan jemaah Warsidi yang telah berishlah.

Ketika diislah pertama kali mencuat sekitar tahun 1998-1999, pengikuti jalan damai menurut Islam ini memang cukup banyak. Namun seiring waktu, mereka menarik islah, dan kembali menuntut kasus ini dibuka kembali. Alasannya cukup realistis, pihak pemberi islah ingkar janji. Iming-iming uang dan modal yang dijanjikan sebagai kompensasi islah, ternyata bohong belaka.

Namun islah ini ternyata sangat efektif untuk memecahbelah mantan jemaah pengajian Talangsari, sehingga seolah-olah bila kasus ini dibuka kembali akan menimbulkan perkelahian fisik yang hebat diantara kedua kelompok. Bila mantan jemaah yang menuntut kasus Talangsari dibuka dan diselesaikan lewat jalur hukum berdemonstrasi, kelompok menganggap kasus itu sudah selesai langsung menyikapinya. Mereka menggelar aksi serupa ke tempat yang sama, dengan tuntutan sebaliknya. Begitu terus berulang-ulang, baik di
Lampung maupun di Jakarta.

Bekas kelompok Talangsari yang proislah terkesan memang sangat responsif menanggapi setiap aksi dan pemberitaan yang menginnginkan pelaku pelanggaran HAM diadili. Bahkan sebuah tabloid di Bandar Lampung pernah digugat dan akhirnya membubarkan diri, setelah menurunkan laporan bertajuk “Darah Ditukar Rupiah” pada akhir tahun 1998 lalu.

Padahal islah yang dimaksud dalam agama Islam adalah proses maaf memaafkan yang dilandasi rasa ikhlas, dan bukan untuk mengejar imbalan materi. Pihak yang melakukan kesalahan harus meminta maaf secara terbuka kepada kelompok yang dirugikan.

Negara Otoriter Birokratik
Tindakan kekerasan yang lazim disebut pelanggaran HAM dimasa lalu memang tidak lepas dari sistem politik otoriter birokratik yang dianut negara Indonesia. Rakyat dilarang keras mendekati politik, dan hanya diminta memenuhi target di bidang ekonomi saja. Partisipasi masyarakat di bidang politik diharamkan, karena tugas rakyat hanya mengisi pembangunan dengan bergelut di bidang ekonomi. Untuk mengamankan tujuan inilah, negara menjadi sangat otoriter, karena pembangunan membutuhkan stabilitas politik. Setiap tindakan pelawan selalu dibabat, dengan alasan,” demi kepentingan nasional’, “demi kelancaran pembangunan”, dan sebagainya.

Pengadilan Sebagai Solusi yang Tepat
Setelah mahkamah konstitusi membatalkan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), tidak ada jalan lain untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, selain melalui pengadilan. Terlepas dari bobroknya citra peradilan, sejauh ini masyarakat Indonesia masih mempercayai pengadilan adalah sarana paling tepat untuk mendapat kan keadilan. Pengadilan HAM itu sudah lama dinanti-nantikan oleh para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM Talangsari, yang tak pernah berhenti berharap.

Tuntutan ini sesuai dengan UU pengadilan HAM, yang menyebut kasus pelanggaran HAM harus diselesaikan melalui pengadilan HAM. Hal itu sebagai wujud jaminan pelaksanaan HAM serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada setiap warga negara.

Siapa bisa menafikan bila kasus penyerbuan di Talangsari itu bukan pelanggaran HAM berat? Menurut Undang-Undang No 26 tahun 2000, tentang Pengadilan HAM, kriteria pelanggaran HAM berat diantaranya adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Menurut Undang-Undang itu, yang dimaksud kejahatan kemanusiaan adalah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistemik yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, diantaranya dengan cara pembunuhan, pemusnahan, dan penyiksaan. Dan sesuai dengan UU itu pula, disebutkan, pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum di undangkannya UU ini, diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM ad hoc.

Pengadilan ini jangan diartikan sebagai membuka luka lama, atau hendak balas dendam. Tapi sebagai upaya menegakkan hukum, di negara yang menyebut diri sebagai negara hukum. Mengadili kasus pelanggaran HAM, juga akan memperbaiki citra bangsa Indonesia di mata dunia internasional, yang selama ini dianggap sebagai negara yang kurang menghargai HAM warga negaranya.

Vonis bersalah pada pelaku pelanggar HAM dipastikan akan mengubah perilaku negara yang selama ini menyeramkan. Aparat pasti akan lebih berhati-hati melakukan tindak kekerasan, karena tidak ingin dicap pelanggar HAM. Bila pengadilan sudah menetapkan siapa pihak yang salah dan benar, bisa saja kedua belah pihak saling memaafkan dengan islah tadi. Melalui pengadilan juga bisa dilakukan rehabilitasi nama baik bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan. ****

1 comment:

:: AcehOne Creative:: said...

Talangsari, adalah sejarah kepedihan, darah dan airmata. Talangsari sejarah berdarah yang dilupakan. Fadilasari, seperti membuka mata dunia, bahwa sejarah itu ada, bahwa ada banyak nyawa yang melayang untuk pangkat dan jabatan seseorang yang tak tersentuh hukum..

Semoga apa yang ditulis Fadila, berarti bagi mereka yang teraniaya...