Friday, September 14, 2007

Komnas HAM Bongkar Makam Korban Talangsari

Monday, 30 April 2007

Pagi Ini Bedah Buku Talangsari


Laporan Senen/JPNN

JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terus berupaya mengungkap kasus Talangsari. Komnas HAM telah membentuk tim penyelidik ad hoc terhadap peristiwa Februari 1989 itu.

’’Anggota tim lima orang dan sudah dilaporkan pada Rapat Paripurna Komnas HAM,” kata Wakil Ketua Komnas HAM yang juga anggota tim penyelidik Zumrotin K. Susilo di Jakarta, kemarin. Selain Zumrotin, empat anggota lain adalah Ruswiati Suryasaputra, M. Farid, Isdal Kasim, dan Supardi.

Dijelaskan, tim bekerja efektif mulai Mei. Mereka akan mempelajari seluruh temuan yang lalu. Selain itu, akan disusun berita acara untuk penyelidikannya. ’’Kami mulai pekan ini. Kalau dulu hanya minta keterangan, sekarang menyusun BAP-nya juga,” bebernya.

Untuk melengkapi berita acara tersebut, tim yang diberi waktu hingga Agustus itu akan mengumpulkan data sekunder lain. Mereka juga akan menyusun jadwal orang-orang yang akan dimintai keterangan. Sampai batas waktu itu, berkas penyelidikan harus sudah sampai di tingkat penyidikan Kejaksaan Agung.

Menurut Zumrotin, dalam mengumpulkan data tersebut, ada kemungkinan tim akan membongkar makam korban di Lampung. ’’Kami belum tentukan (pembongkaran) karena masih akan dibicarakan,” urainya.

Mengenai waktu hingga Agustus, Zumrotin mengaku tidak yakin dengan deadline tersebut. ’’Saya nggak yakin, tapi berharap sebisa mungkin terpenuhi,” tuturnya. Pada Agustus nanti, masa bakti komisioner Komnas HAM berakhir. Kemudian, dipilih komisioner baru.

Bagaimana jika tugas tim belum selesai? Dia menjelaskan, tim akan meminta perpanjangan masa tugas. Namun, tidak tertutup kemungkinan tugas tersebut diambil alih oleh komisioner baru. ’’Sebaiknya dilanjutkan, tapi semua tergantung komisioner baru,” jelas Zumrotin.

Peristiwa Talangsari bermula saat sekelompok warga dari Solo, Bandung, Jakarta, dan sekitar Lampung berpindah ke Talangsari. Mereka memercayai konsep hijrah. Di sana warga disambut Warsidi sebagai pemimpin pengajian. Kedatangan warga direspons camat Wayjepara. Camat meminta Warsidi melaporkan pendatang baru itu.

Namun, panggilan itu tidak direspons. Sejak itu, kelompok Warsidi yang ingin menegakkan syariat Islam tersebut diawasi. Pada 6 Februari 1989, pecah konflik pertama antara pengikut Warsidi dan aparat. Danramil 41121 Wayjepara Kapten Sutiman terbunuh. Keesokannya tindakan warga itu direspons aparat keamanan hingga akhirnya jatuh korban tersebut.

Sementara itu, hari ini Unit Kegiatan Penerbitan Mahasiswa (UKPM) Teknokra Unila meluncurkan buku Talangsari 1989 karangan Fadilasari. Peluncuran buku yang ditulis wartawan Tempo ini akan dilaksanakan di halaman Rektorat Unila.

Menurut sang penulis, buku setebal 125 halaman itu berbeda dengan buku-buku lain yang terbit lebih dahulu dan ditulis pihak lain. Buku ini menggambarkan peristiwa secara deskriptif mengenai bagaimana sesungguhnya peristiwa Talangsari. Mulai pembentukan pengajian Warsidi, apa ajaran mereka, sampai seperti apa kekerasan pada 7 Februari 1989 silam yang menewaskan ratusan umat Islam itu.

Melalui buku ini, lanjut Fadilasari, dirinya mencoba menyadarkan masyarakat bahwa sebenarnya peristiwa Talangsari benar-benar terjadi. Hingga saat ini, kasusnya belum tuntas secara hukum.

Usai peluncuran buku, akan diadakan diskusi publik dengan tema Prospek Penegakan Hukum Kasus HAM Talangsari. Diskusi akan menampilkan pembicara Usman Hamid (koordinator Kontras), Syarif Makhya (dosen FISIP), Azwar Kaili (saksi korban peristiwa Talangsari), dan Fadilasari sendiri. Sedangkan moderatornya Ibnu Khalid (Deputy General Manager Radar Lampung). (*)

No comments: