Saturday, September 29, 2007

Membincangkan Kembali Kasus Pelanggaran HAM Talangsari 1989

Thursday, 31 May 2007

Sample Image(Unila): Kasus HAM Talangsari, Lampung, yang terjadi pada tahun 1989, dan sudah dibukukan, kembali hangat dibicarakan kalangan mahasiswa dan akademisi. Laboratorium Politik Lokal dan Otonomi Daerah Jurusan Pemerintahan FISIP Unila mengadakan diskusi, di FISIP Unila, Kamis, (31/5) dengan mengundang Fadilisari, penulis buku ”Talangsari 1989 : Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung”.

Menurut Fadilasari, yang juga alumnus FISIP 99, banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat pada saat itu meninggalkan trauma buruk masyarakat.

“Penangkapan dan pembunuhan tanpa ada proses hukum terlebih dahulu, pengekangan kebebasan masyarakat, perampasan hak milik serta adanya penutupan arus informasi, warga Talangsari sulit mendapat hak bekerja dan mendapat pendidikan. Itu akibat stigma negatif yang dialamatkan kepada warga Talangsari,” papar Fadilasari, yang kini wartawan Tempo dan mahasiswa magister hukum Unila.

Sementara itu, Budi Kurniawan, S.IP, dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Unila, menjelaskan biasanya ada dua tipe pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara. ” Pertama, alasan keamanan (subversif), dan kedua karena adanya kolusi antara pihak swasta dengan tentara ” jelasnya.

Alasan keamanan, kata Budi, bisa dilihat seperti pada kasus Petrus (1983), Tanjung Priok (1984), Talangsari (1989), Dom, Timor Timur, 27 Juli, Penculikan Aktivis, Tri Sakti, dan kasus Semanggi. Kasus HAM akibat kolusi swasta dan tentara, jelas Budi, dapat dilihat pada kasus penggusuran tanah kedung ombo, pelanggaran hak adat, HPH, Freeport, penindasan buruh, dan kasus Marsinah.

Menurut Budi, sedikitnya ada empat hal kendala penegakan kasus pelanggaran HAM, yakni tidak pernah menghukum aktor intelektual seperti contoh kasus penculikan aktivis, trisakti dan semanggi. ” Kedua, tekanan kekuatan swasta internasional, contoh kasus buyat. Ketiga, kolusi pejabat pemerintah, dan keempat, tidak ada political will dari pemerintah, ” jelas Budi.

Menurut Dra. Ari Darmastuti, M.A satu hal yang terpenting ialah, kasus-kasus pelanggaran HAM harus tetap diupayakan untuk dimejahijaukan. ”Sebab ada gejala budaya tutup mulut atau ‘culture of silent’ untuk menutupi kasus-kasus semacam ini. Jangankan sampai dinyatakan bersalah, sampai di pengadilan pun ini sudah merupakan kemenangan,” kata Ari, yang juga staf pengajar FISIP Unila.

Sedangkan menurut Drs. Rusdan, M.Si, dosen luar biasa FISIP Unila yang juga Dekan FISIP UTB, sebaiknya berbagai kalangan mencoba menelaah dengan bijak apa sebenarnya yang menjadi akar masalah sebenarnya di Talangsari. ”Bukan sekedar untuk mencari ’kambing hitam’ siapa yang bersalah dari kasus ini, ” tegasnya. [redha/syafar]

No comments: