Sunday, September 30, 2007

Talangsari; Pelaku atau Korban?


PDF Print E-mail
Written by Administrator
Radar Lampung, Tuesday, 01 May 2007


Laporan Fajar S./Ibnu K.

BANDARLAMPUNG - Perjalanan waktu selama 18 tahun tak mengubah perbedaan pandangan soal peristiwa Talangsari. Masih ada yang menilai peristiwa berdarah tersebut sebagai perang. Sebagian lainnya menganggap sebuah kejahatan kemanusiaan; pelanggaran berat atas hak asasi manusia (HAM).

Menariknya, perbedaan pandangan tersebut justru terasa masih kental di kalangan ’’mereka sendiri’’, yang terlibat dalam peristiwa tersebut, baik langsung maupun tidak. Kalangan yang saat peristiwa tersebut justru –sebagian di antaranya– merupakan jamaah pengajian Warsidi. Pengajian inilah yang kemudian dianggap TNI sebagai kelompok yang ingin mendirikan negara Islam.

Perbedaan pandangan tersebut terasa sangat kental dalam diskusi terbuka yang diselenggarakan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teknokra Universitas Lampung (Unila), kemarin. Diskusi bertema Prospek Penegakan Hukum Kasus Pelanggaran HAM Talangsari itu merupakan rangkaian peluncuran buku karya Fadilasari yang berjudul Talangsari 1989; Kesaksian Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Lampung.

Selain Ila, sapaan Fadilasari, hadir sebagai pembicara Koordinator Komisi Nasional untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid; staf pengajar Fakultas Hukum Unila Shafruddin; dan salah satu korban peristiwa Talangsari, Jayus. Diskusi dimoderatori Deputy General Manager Radar Lampung Ibnu Khalid.

Sebenarnya, sejak awal acara peluncuran buku memang sudah terasa ’’panas’’. Usai Paus Sastra Lampung Isbedy Stiawan Z.S. membacakan puisinya yang bertema peristiwa Talangsari, panitia mengadakan lelang buku karya aktivis Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Bandarlampung tersebut.

Ada tiga buku yang dilelang. Lelang buku pertama berjalan tanpa banyak kendala. Begitu juga dengan kedua. Suasana mulai memanas saat lelang buku terakhir. Ketika itu, panitia sudah mendapat penawaran seharga Rp550 ribu untuk satu buku.

’’Saya siap membeli Rp1 juta asal mendapat kesempatan menjadi pembicara dalam diskusi,’’ ujar seorang pengunjung. Darsono, pria itu, merupakan salah satu jamaah pengajian Warsidi. Karena panitia telah menetapkan pembicara, maka permintaan tersebut ditolak.

Acara dilanjutkan dengan diskusi. Dimulai dari pemaparan Jayus. Dia mengulas secara singkat peristiwa Talangsari. Menurutnya, korban tewas dalam peristiwa itu ratusan.

’’Saya ingat, penguburan dilakukan setidaknya selama dua hari. Setiap hari minimal 50 jenazah yang dimakamkan. Itu pun secara asal-asalan. Maka pada hari ketiga, warga memperbaiki makam yang belum sempurna. Di antara korban adalah wanita dan anak-anak,’’ ujarnya.

Kemudian Ila memaparkan temuannya selama proses membuat buku. Dia mengakui, sejatinya buku tersebut adalah skripsi yang ia tulis untuk menyelesaikan studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Unila.

Untuk menulis skripsi tersebut, dia mengumpulkan data dan fakta selama hampir satu tahun. Berbagai pihak ia temui dan wawancarai. Kemudian buku juga diramu dengan berita-berita mengenai peristiwa Talangsari yang ia tulis selama menjadi wartawan majalah berita mingguan Tempo. ’’Jadi memerlukan waktu yang panjang. Karena saya berusaha untuk menulis seobjektif mungkin. Tetapi saya tetap siap menerima kritik, masukan, dan saran atas isi buku ini,’’ ujarnya.

Meski demikian, Usman Hamid dalam pemaparannya masih mengkritik buku tersebut. Dia menilai sebaiknya buku Ila juga dielaborasi dengan buku sejenis yang terbit sebelumnya, Geger Talangsari.


Simpulan Komnas HAM

Mengenai peristiwa Talangsari sendiri, Usman menegaskan Komisi Nasional (Komnas) HAM pada 14 Maret 2007 sudah mengeluarkan rekomendasi atas investigasi yang mereka lakukan. Di antara isinya, peristiwa Talangsari tidak dapat dikatakan sebagai kejahatan genocide –pembantaian secara massal untuk memusnakan satu etnis atau kaum.

Kemudian, meninggalnya banyak orang dalam peristiwa tersebut tidak dapat disimpulkan sebagai akibat kejahatan genocide. Namun, ada indikasi terjadinya penghilangan secara paksa.

Komnas HAM juga menyimpulkan ada indikasi unsur-unsur objektif pelanggaran HAM berat. ’’Kategorinya adalah tindakan yang mengakibatkan hilangnya seluruh atau sebagian hak hidup seseorang,’’ jelas Usman. Karena itu, lanjut dia, Komnas HAM juga merekomendasikan penyelidikan proyustisia atas peristiwa tersebut.

Seperti diberitakan harian ini kemarin, tim penyelidik juga sudah dibentuk. Mereka adalah Wakil Ketua Komnas HAM Zumrotin K. Susilo. Selain itu, Ruswiati Suryasaputra, M. Farid, Isdal Kasim, dan Supardi.

Shafruddin berpendapat senada dengan Usman. Menurutnya, ada indikasi pelanggaran HAM dalam peristiwa Talangsari. Secara hukum, papar dia, peristiwa itu baru dapat dikatakan perang bila ada kombatan.

’’Unsur itu tidak terlihat dalam peristiwa Talangsari. Tidak ada kombatan, juga tidak ada simbol-simbol, termasuk simbol yang mengarah pada pendirian negara baru,’’ ujarnya.



No comments: